Potret Kehancuran Demokrasi Indonesia: Masa Depan Partai Politik


Oleh Farhat Abbas 
Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

Sedang terjadi tontonan nasional, bahkan sudah memasuki wilayah internasional. Itulahperhelatam politikKongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Sibolangit – Sumatera Utara (Sumut). Pasalnya, Moeldoko sebagai sosok kader partai lain (Wakil Ketua Umum HANURA) tiba-tiba menggalang kekuatan untuk menggapai posisi terpuncak PD: sebagai Ketua Umum.

Setidaknya, muncul dua pandangan yang sangat kontras dan mendasar. Pertama, apa yang terjadi di KLB PD merupakan dinamika demokrasi, yang lumrah terjadi dalam panggung politik praktis. Meski, terdapat problem etik politik, tapi kancah politik saat ini memang masih dominan kedepankan kepentingan personal dan atau kelompoknya. Kedua, dinamika itu juga merupakan reaksi akibat dari problem internal partai PD. Ada sejumlah kepentingan elitis yang tidak terakomodasi kepentingannya pada stuktur kepengurusan baru PD pasca Kongres kelima PD 15 Maret 2020.

Di sisi lain – menurut catatan internal fungsionaris PD di berbagai daerah – Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) – kurang memberi kesempatan untuk bincang-bincang saat beliau terjunkedaerah. Catatan yang terlontar, AHY lebih memperlihatkan diri sebagai sosok yang sangat elitis dan eksklusif. Bagai sang raja yang semua konsekuensi akomodatifnya harus ditanggung fungsionaris daerah. Semua ini menjadi faktor yang membuat sejumlah fungsionaris PD di daerah kaget dan sesungguhnya complain, kalua tidak dibilang tak suka dengan gaya kepemimpinan baru PD itu. Itu semua menjadi pintu masuk bagi para kader senior yang dipecat. Dan pelampiasan pembalasannya, di antaranya mengajak pihak eksternal: Moeldoko. Bagai gayung bersambut. Dan meletuslah dinamika PD sebagai konsekeunsi sikap menganut demokrasi yang berujung KLB.

Dinamika itu kian menguat. Hal itu sejalan dengan sikap pro-kontra KLB yang siap diselenggarakan. Fakta di lapangan menujukkan, kedua pihak – kubu AHY ataupun Moeldoko – sama-sama mempertaruhkan integritas. Caranya sederhana: menyandera dengan cara memberikan dana taktis, minimal, kesepakatan ikatan kompensasional. Di lapangan dijumpai, tak sedikit kader dari DPD ataupun DPC bermain “kaki dua”. Dengan sikap pragmatisnya, maka berlaku prinsip siapa yang lebih besar, ia akan berikan suaranya. Jadi, ada problem integritas dan loyalitas. Ke mana berpihak, uang yang bicara. Ternyata, KLB terus berhasil terselanggara. Hal ini relatif menggambarkan ada perubahan peta politik dukungan yang mengarah pada Moeldoko. Sangat boleh jadi, Ketua KSP ini lebih besar memberikan kompensasinya. Karena itu, kita sulit untuk menyalahkan proses politik KLB.

Yang perlu kita renungan mendasar, bagaimana masa depan partai politik (parpol) Indonesia akibat gempita politik yang – di mata sebagian publik – dinilai sebagai tindakan penghalalan segala cara (moral hazard) itu untuk merebut posisi Ketua Umum PD itu?

Potret parpol Indonesia ke depan itu perlu dibaca gegara panorama baru KLB PD di Sibolangit itu. Dalam wacana keilmuan, apa yang terjadi pada KLB PD itu jelaslah merupakan konsekuensi demokrasi yang tidak bisa hindari dinamika itu. Jika didiskursukan, maka yang perlu disoroti adalah problem etika berdemokrasi. Tapi, sorotan masalah etika hanya menilai sektor dua sisi: baik dan buruk, pantas dan tidak pantas. Dan cara pandang ini bisa subyektif. Tergantung dari sang penilai.

Namun demikian, tentang baik-buruk atau pantas-tidak pantas memang sungguh urgen untuk dikritisi. Jika atas nama demokrasi lalu membiarkan praktik penghalalan segala cara, maka dinamika politik bangsa dan negeri ini akan selalu diwarnai pemandangan konfliktual. Juga, akan selalu dihinggapi rasa was-was saat memasuki lingkaran kekuasaan. Sebagai ilustrasi faktual, apa yang dilakukan Moeldoko – menurut catatan sejumlah jenderal TNI – dinilai mencoreng nama baik korsa institusi TNI, dari sisi jatidiri, karakter dan mental. Problem psikologis ini menimbulkan tanda tanya, apakah posisi Presiden saat ini aman? Pertanyaan ini layak dilontarkan sejalan dengan hubungan dekat Moeldoko dengan Presiden sejalan dengan tugasnya sebagai KSP.

Banyak purnawirawan TNI mencatat, hilangnya etika dan sikap tak tahu diri seorang Moeldoko, sangat mungkin terjadi penggoyangan kekuasaan Presiden. Meski prospektusnya kecil, tapi kudeta bukan sesuatu yang tidak niscaya dalam panggung kekuasaan. Saat perebutan kekuasaan dinilai tidak demokratis. Tapi, manakala berhasil mengkudeta, akan berubah posisi hukumnya: jadi sah secara hukum.

Kita perlu menctat, apa yang dilakukan Moeldoko terhadap PD – secara langsung atau tidak – beliau menggambarkan sikap yang tak bisa berterima kasih kepada Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang telah membesarkan dirinya sebagai KASAD dan sampai Panglima TNI. Jasa baik itu dipandang sepi, sehingga dirinya berani membantai PD, yang jelas-jelas, SBY masih ada dalam PD. Hal ini perlu kita korelasikan pada karakter personal yang – bukan tidak mungkin – menjadi preseden baruk bagi Presiden. Sebagai pemilik karakter brutus, siapapun yang menghalangi ambisi politiknya akan disikat. Inilah yang harusnya diwaspadai, sebagai diri Presiden ataupun komponen elitis partai-partai politik (parpol) di tanah air ini.

Saat ini, banyak pihak menilai ilegalitas hasil KLB itu, karena pijakannya pada proses atau prosedur KLB. Menurut AD/ART PD 2020 yang hingga kini diakui Pemerintah, KLB PD Sibolangit tidak memenuhi syarat dasar. Di ataranya persoalan kehadiran peserta kongres minimal ¾ (75%) Pengurus wilayah dan 1/5 (50%) unsur Pengurus Daerah, disamping ketentuan adanya izin dari Ketua Majelis Tinggi Partai. Semuanya dikangkangi. Inilah problem yuridis AD/ART yang akan diuji secara faktual oleh Menkumham, terkait jumlah pemilih suara dalam KLB dan keabsahan peserta sebagai pemegang mandatDPD ataupun DPC. Pemalsuan data sangat mungkin terjadi. Tapi, bisa jadi juga memang terdapat pembelot karena kalah saing dalam hal fulus.

Sebuah renungan, apakah Kementerian Hukum dan HAM selaku pihak Pemerintah akan mengabsahkan KLB PD di Sibolangit itu? Jika landasannya AD/ART tersebut di atas dan memang faktual terjadi manipulas data peserta KLB, tentu harus ditolak. Namun, apakah landasan itu akan menjadi acuan? Bicara hukum atau UU Politik, harusnya ya. Tapi, masalahnya proses politik perampokan posisi Ketua Umum PD melalui KLB itu tak akan lepas dari kepentingan politik kekuasaan.

Secara alibi, Pemerintah – boleh saja – menyatakan tidak terlibat dalam kancah politik internal PD. Namun, alibi ini akan dilihat nanti secara pasti. Jika KLB PD Sibolangit itu diabsahkan secara hukum, maka publik secara umum semakin yakin adanya sinyal keterlibatan Pemerintah Pusat, meski sudah bekerja dengan rapi dan penuh dedikasi. Sinyal ini tak lepas dari posisi Meoldoko sebagai Ketua KSP, “tangan kanan kerumahtanggaan” Presiden, sehingga demikian menampak kedekatannya. Boleh jadi kalah dekat dengan para menteri lainnya.Akan semakin kentara ketika PD pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dibikin “linglung” di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bahkan juga,semakin terlihat kepentingan Pemerintah jika pihak kepolisian tidak memproses keadilan hukum karena ada proses pembajakan posisi Ketua Umum PD itu karena memang ada unsur pidananya.

Bagaimana sinyal ke depannya? Mengutip pernyataan Max Sopacua yang meyakini 1.000 % KLB PD Sibolangit akan disahkan Kemenhukham, hal ini cukup menggambarkan proyeksi dukungan politik dan hukum Pemerintah jauh sebelum KLB. Sinyal ini – jauh sebelumnya – sudah ditangkap, sehingga bola liar untuk merebut paksa Ketua Umum AHY semakin kuat. Dan – dalam tempo sesingkat-singkatnya – KLB PD bukan hanya berhasil terselenggara. Aparat kepolisian pun tampak tidak mau tegas mempertanyakan izin penyelenggaraan KLB. Bahkan, Pemda Sibolangit dan atau Pemprov. Sumut – atas nama disiplin protokol kesehatan Covid-19 – pun tidak tampak menegakkan kebijakan anti corona sebagaiama mestinya. Jika sejumlah kerumunan semasa pandemik ditegakkan aturan protokol kesahatan (prokes), bahkan ada yang kena sanksi tegas, mengapa kerumunan yang jelas-jelas terjadi full ofbody contact (bersentuhan) terbiarkan, meski mereka mengenakan masker, salah satu poin dalam menjalankan prokes.

Semua sinyal itu menyuguhkan fakta politik dan hukum. KLB PD versi Meoldok berhasil terselenggara. Dan dalam waktu relatif singkat, hasil KLB ini pun berpotensi disahkan. Ketika keabsahan itu sudah dikantongi, Moeldoko diperkirakan akan segera dilakukan perbersihan seluruh kekuatan pro AHY, yang ada di kepengurusan DPP, DPW atau DPD dan DPC. Dan secara inlinesangat mungkin juga dilakukan pergantian antar waktu (PAW) anggota secara massal, terutama yang ada di DPR RI.

Skenario itu untuk bersungguh-sungguh melumpuhkan kekuatan loyalis AHY, sekaligus memecah integritasnya terhadap penerus Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini. Sehingga – atas pertimbangan pragmatisme – para anggota Fraksi PD kemungkinan besar akan banyak berbalik badan: dari AHY ke Moedoko. Itulah – dalam waktu relatif singkat – akan terjadi PAW “massal” di tengah Fraksi PD, meski prosesnya tidak mulus. Bagaimanapun KPU punya landasan yuridis untuk menentukan tenggang waktu anggota DPR itu. Namun, KPU pun harus tunduk pada kemaun partai. Atas nama urusan internal partai, KPU tak punya otoritas untuk menolak kemauan partai. KPU harus menjalankan amanat UU.

Semua gambaran tersebut relatif mencerminkan campur tangan kekuasaan yang ada. Yang perlu kita baca lebih jauh, ke mana arah politik kekuasaan itu? Ada dua agenda yang perlu kita soroti. Pertama, agenda jangka pendek. Seperti kita ketahui, PD kini berseberangan dengan pemerintah. Sebagai partai atau fraksi oposisi bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski secara komposisi minoritas (keduanya hanya memiliki 105 kursi dari 575 kursi DPR RI), namun tetap dinilai sebagai pengganggu proses politik legislasi. Sementara, di arena parlemen – meski baru terlihat “asap” mengepul – sedang digencarkan amandemen kelima: arahnya, perubahan masa jabatan kepresidenan, dari maksimal dua periode menjadi tiga periode. Sekali lagi, amandemen yang berterget politik pemanjangan masa jebatan masih sebatas spekulasi. Tapi, gerakan itu terlihat di lapangan. Karena itu – atas nama demokrasi yang beradab – potensi perusakan system demokrasi juga perlu kita kritisi dan sikap tegas.

Dengan mem-PAW-kan sejumlah anggota Fraksi PD, praktis PKS tinggal “seorang” diri. Meski tetap ada perlawanan, tapi tak akan seramai jika PD tetap solid terkait masalah jabatan tiga periode itu. Sebanarnya, tanpa harus membonsai Fraksi PD, pun politik legislasi di parlemen sudah dikuasai. Dan tetap akan mulus upaya amandemen kelima itu. Namun, mengapa harus tetap mengkerdilkan PD? Di sanalah kita perlu membaca agenda politik lainnya (agenda kedua).

Agenda kedua itu tak lepas dari proyeksi kontestasi kepresidenan. Tak bisa dipungkiri, AHY merupakan bintang baru. Daya magnetnya berpotensi besar untuk menyingkirkan populeritas kandidat lain yang sedang dipersiapkan, terutama Puan Maharani. Membaca peta politik ini, maka cahaya AHY harus diredupkan jauh sebelum pilpres. Dan penyingkiran AHY dari kursi Ketua Umum PD adalah langkah yang sangat efektif.

Dari analisis tersebut, maka kita dapat membaca bahwa sinyal campur tangan kekuasaan lebih diperankan oleh partai penguasa. Pinjam tangan “petugas partainya” (Presiden). Membaca sketsa politik parpol penguasa, maka PD – di depan mata – bukan hanya akan hancur, tapimemang sedang dihancurkan secara sistimatis.

Agenda tambahan pasca PAW sejumlah anggota DPR RI, Moeldoko sangat mungkin juga melakukan PAW sejumlah anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Juga, dilakukan pergantian pengurus PD loyalis AHY. Sekali lagi, atas nama pertimbangan pragmatisme, tidaklah sulit melucuti integritas seluruh kader PD pro AHY, meski sekarang ini masih tampak heroik menolak Moeldoko. Dengan demikian, sketsa politik PD ke depan memang akan berpuing-puing. Akan terjadi ketidakpercayaan publik (para pemilih setia PD) akan berpindah seiring dengan kepidahan para kader PD. Meski hal ini tidak dikehendaki Moeldoko sebagai konsekuensi pegang kendali partai, tapi skenario penghancuran ini sejatinya sudah diketahui dari awal. Beliau menjadi instrumen penghancur (the destroyer). Praktik politik seperti ini sudah sering kita saksikan sejak Orde Baru. Juga di era reformasi ini.

Semua strategi itu benar-benar untuk menyirnakan potensi AHY masuk dalam bursa pemilihan presiden (pilpres). Sah-sah saja dalam spektrum demokrasi, meski menjadi persoalan mendasar dari sisi konstitusi. Mengapa harus mengamputasi hak individu dalam memasuki kontestasi pilpres. Yang perlu kita teropong lebih jauh, apakah seluruh parpol kompetitor akan “didemokratkan”? Why not?

Bagi parpol penguasa saat ini hanya ada satu opsi: siapapun yang bersebarangan dengan PDIP harus diinjak. Bukan hanya sulit bernafas. Tapi, harus mati suri. Dalam hal ini kita akan bisa membaca nasib Partai Golkar dan Nasdem. Kedua parpolini masih mitra koalisi. Tapi – sejalan dengan pilpres 2024 – keduanya sudah pasang kuda-kuda. Akan berhadapan secara vis a vis dengan kepentingan Partai Banteng itu.

Masa Depan Parpol Indonesia

Di depan mata, gerakan sistimatis Partai Moncong Merah itu akan membuat kekuatan sejumlah parpol diperdaya. Setidaknya loyo, sehingga tak bisa bersaing secara powerful. Skenario politik devide et empera dalam internal parpol akan terus dikembangkan sebagai strategi umum pelumpuhan parpol lainnya. Masing-masing parpol kompetitor akan terus dibangun insoliditas internal. Terjadi sikap saling curiga. Dibikin konflik yang terangkat ke arena permukaan. Dan semua itu akan menciptakan kondisi tidak nyaman bagi para fungsionaris parpol.

Implikasinya, kinerja parpol menurun. Dan publik akan hilang kepercayaan kepada parpol-parpol yang dilanda konflik berkepanjangan itu. Parpol-parpol tersebut pun semakin sulit untuk membangun kemesraan dengan seluruh konstituen.

Potret bencana demokrasi itu, tidak berarti meniadakanblessing in disguise (himah). Bagi keluarga besar Partai Negeri Daulat (PANDAI), potret destruksi demokrasi menjadi peluang terbuka, sekaligus alternatif yang bisa diharapkan untuk menumbuh-kembangkan obsesi politik yang penuh nyaman. Dengan mengedepankan sistem “desentralisme” kewenangan, PANDAI yang jelas-jelas beda dengan seumlah parpol yang ada, para politisi dan atau calon politisi bisa merapat ke PANDAI. Selamat datang dan hayo berjuang bersama PANDAI.

Sikap apresiatif PANDAI bukanlah aji mumpung karena kisruh parpol yang sedang dibikin tidak nyaman. Tapi, PANDAI harus menawarkan sikap terbuka itu. Semata-mata untuk menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Sementara, parpol merupakan salah satu pilar demokrasi. Karena itu, menyelamatkan parpol harus menjadi kesatuan agenda bersama. Penuh kesadaran kolektif. Kebersamaan dalam menghadapi parpol egois yang mendambakan partai mayoritas tunggal (single majority).

Dalam literasi politik, hanya ada pada sistem partai komunis yang mengukuhkan politik mayoritas tunggal. Sebagai partai yang bernegara Pancasila, maka tak kata lain kecuali satu kata: lawan. Dan PANDAI memprakarsainya. Bersama-sama, kita kuat dan pasti mampu menyingkirkan kekuatan sang “Goliat” itu. Kebersamaan ini – sekali lagi – untuk menatap masa depan parpol yang tetap berfungsi. Untuk demokrasi Indonesia, saat ini danke depan.

Jakarta, 10 Maret 2021

Pengirim Artikel : (Sugito)



Artikel Terkait

Nasional|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya

 


 

VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami