Farhat: POLISI, DEMOKRASI DAN KEMENUSIAAN


oleh:Farhat Abbas
KIAN berat. Itulah tugas kepolisian. Bagaimana tidak? Dinamika kehidupan masyarakat kian berubah drastis, jauh beda dari kondisi beberapa puluh tahun lalu. Sebagai ilustrasi, bentuk kejahatan kian canggih. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, juga perkembangan budaya dan gaya hidup, warna kejahatan pun seperti menyesuaikannya. Kian canggih warna kejahatan itu karena tak sedikit melibatkan unsur asing. Apa yang terjadi di dunia narkoba yang bersifat transnasional, bahkan kejahatan terorisme, itu menggambarkan potret perubahan peta kriminalitas yang harus dihadapi satuan kepolisian selaku penegak hukum.
 Di bawah kepemimpinan Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, POLRI siap menerapkan konsep dasar: prediktif, responsibilitas, transapransi dan berkeadilan (PRESISI).

Secara operasional, dinamika yang terjadi di tengah masyarakat, yang murni dari lingkungan domestik ataupun hasil kerjasama (konspirasi) dengan elemen luar, semua itu dilihat bukan sebagai panorama yang tengah terjadi atau berlangsung, tapi bagaimana menatap potensi perkembangannya. Deteksi dini akan mempermudah pemetaan persoalan, sekaligus langkah-langkah strategis penanggulangannya. Jika memang, menyangkut faktor konspirasi internasional, maka domain Interpol menjadi hal mutlak untuk dibangun kerjasamanya dengan satuan polisi dari sejumlah negara. Langkah ini – semata-mata – untuk mentefektifkan langkah penanganan.
Tak kalah krusialnya, dinamika internal juga memerlukan langkah prediktif. Berangkat dari catatan dokumentatif, Polri bukan  hanya mentabulasikannya tapi begaimana memotret kecenderungannya ke depan, terkait kriminalitas yang semakian variatif, juga persoalan-persoalan terkait lainnya.

Kita perlu mencatat, peta perubahan itu menuntut konsekuensi logis: satuan kepolisian harus mampu melakukan perubahan cepat yang bersifat adaptif untu menghadapi kecanggihan model kejatahan saat ini. Di samping up grading secara teknis sebagai alat keamanan, satuan kepolisian tak bisa abaikan tuntutan kecakapan nonteknis. Hal ini berarti ada progam strategis terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar mumpuni terkait perubahan perilaku umat manusia. Menganalisis konsep dasar yang dikembangkan Kapolri saat ini, keharusan adaptasi itu merupakan prinsip responsibilitas Polri yang tak bisa ditawar-tawar. Langkah dan atau program pembaruan mutlak dilakukan, meski berkonsekuensi finansial dan lainnya.
 Dalam hal itu – setidaknya – terdapat dua pendekatan. Yaitu, pemberdayaan SDM internal dalam berbagai disiplin ilmu. Program ini berkonsekuensi waktu. Karena itu – untuk efisiensi waktu – perlu diterapkan program kerjasama dengan pihak eksternal sesuai kompetensi yang diperlukan. Langkah ini jauh lebih produktif. Bersifat instan, tapi maksimal. Mampu menjangkau apapun jenis kejahatannya dalam waktu relatif segera. Dan tampaknya Polri sudah menerapkan kebijakan adaptif ini. Tinggal penguatan kerjasama itu, yang bersifat langsung dengan tugas.

Juga, perlu dipikirkan hal-hal lain yang tidak terkait langsung dengan tugas. Sebagai gambaran, peran komunikasi publik. Jika arus komunikasi dimainkan oleh lembaga kepolisian terkait sanggahan atau pembenaran tindakan, maka ada potensi resistensi. Karena itu Polri perlu menggandeng para analis atau konsultan komunikasi publik untuk bicara hal-hal yang sedang berlangsung. Catatan ahli dari unsur non kepolisian cukup strategis untuk membangun opini yang sesuai dengan kebutuhan kepolisian. Karena itu, peran komunikasi publik ini menuntut kerjasama sinergis dengan dengan  awak media dan para analis lain yang profesional untuk mengulasnya. Perlu kita catat, distorsi pemahaman bisa terjadi karena kurang maksimalnya pembangunan komunikasi publik itu.
 Dalam hal ini, prinsip yang harus dikembangkan adalah sikap kejujuran. Jika memang ada kekeliruan tak perlu ditutupi. Meski demikian, kita bisa mencari model bagaimana menjelaskan duduk perkaranya sehingga publik dapat memahami secara jernih, bukan produk informasi sepihak. Dalam hal ini, pendekatan komunikasi yang tepat adalah analisis masalah. Tampaknya, inilah peran komunikasi publik yang perlu dirancang sebagai satuan program inheren Polri.

Di tengah tuntutan profesional itu ada satu hal dinamika yang cukup krusial yang harus dihadapi satuan kepolisian: demokratisasi. Kesadaran warga negara dalam mengartikulasikan hak-hak asasinya, terkait ekonomi, politik, sosial dan lainnya, semua itu menimbulkan kondisi yang menuntut sikap bagaimana memahami sejumlah tuntutan publik, tapi juga harus mampu menjaga kondisi keamanan dan ketertiban.
 Pendek kata, satuan kepolisian saat ini dan ke depan harus mampu berindak secara profesional, tapi juga menghormati dimensi kemanusiaan. Inilah tuntutan obyektif sejalan dengan peta demokratisasi yang tumbuh di negeri ini dan menjadi kecenderungan global. Kecenderungan ini membuat apa yang terjadi di dalam negeri ini tak lepas dari sorotan dunia. Dan akan menjadi catatan negatif bahkan bisa sampai mempengaruhi hubungan diplomatik jika mengedepankan cara-cara ketidakmanusiaan. Inilah tuntutan obyektif yang mengharuskan satuan kepolisian memasukkan program dan kepribadian yang sarat dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Keinginan publik ini semata-mata – di satu sisi – tetap mengharapkan peran polisi sebagai pelindung dan pengayom. Tapi, di sisi lain, tetap tidak mengabaikan jatidiri individu sebagai umat manusia. Dalam konteks ini, institusi Polri pun harus bertindak tegas manakala aparatnya – secara nyata – melanggar prinsip-prinsip HAM. Justru, penindakan tegas terhadap aparat yang melampaui batas apalagi ada nuansa dendam atau sentimen yang bernuansa SARA, hal ini akan menjadi faktor mendasar terbangunnya wibawa Polri. Perlu kita catat, sikap dan tindakan yang adil menjadi kata kunci penting dalam membangun jatidiri Polri ke depan. Masyarakat akan sangat hormat manakala perbedaan keyakinan (keagamaan) tidak dijadikan landasan untuk bertindak diskrmiatif. Begitu juga, masyarakat akan semakin hormat jika aparat kepolisian – dalam penindakan – tidak mendasarkan pro-kontranya dengan kekuasaan. Manakala asas keadilan ditegakkan tanpa diskriminasi karena faktor-faktor tertentu, akan luar biasa maknanya: institusi akan dielu-ulakan masyarakat dengan penuh hormat secara jujur, bukan kepura-puraan.

(Sugito)

Artikel Terkait

Nasional|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya

 


 

VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami