Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com - Skandal keuangan kembali mencuat di Kabupaten Labuhanbatu Utara. Setelah OTT terhadap Kadis PUTR Provinsi Sumut, kini giliran Dinas PUTR Labura jadi sorotan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap dugaan kerugian negara lebih dari Rp6,2 miliar dalam delapan proyek Jalan, Irigasi, dan Jembatan (JIJ) tahun anggaran 2024.
Temuan ini bukan sekadar kesalahan teknis atau administrasi. LHP BPK menyebut secara jelas bahwa kekurangan volume dan kualitas pekerjaan adalah dampak langsung dari kelalaian dan lemahnya pengawasan para pejabat di Dinas PUTR. Desakan masyarakat agar KPK turun tangan pun menguat, menyusul gelombang kritik yang ramai di media sosial dan khalayak ramai.
Dalam dokumen audit BPK, tiga faktor utama dinilai penyebab potensi kerugian negara:
1. Kepala Dinas PUTR tidak melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan belanja modal JIJ;
2. PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) PUTR tidak mengendalikan kontrak dan melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan yang diserahterimakan; dan
3. PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) PUTR tidak melakukan pengujian perhitungan volume pekerjaan, dan spesifikasi yang dipersyaratkan untuk menerima hasil pekerjaan.
Pemuda dan Mahasiswa asal Kab. Labura Gunawan Situmorang, menyatakan bahwa temuan BPK ini berpotensi masuk ke ranah tindak pidana korupsi, khususnya Pasal 3 UU Tipikor. “Penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara sangat jelas dalam kasus ini. KPK harus segera mengambil alih penanganan jika aparat lokal lamban,” tegasnya.
Mirisnya, Pada LHP, Kadis PUTR menyatakan sependapat dengan temuan BPK dan akan menindaklanjuti sesuai rekomendasi BPK, anehnya Kadis malah ambil sikap diam bahkan Diduga Blokir Kontak media saat dikonfirmasi.
Dugaan kolusi pun muncul, menyusul terputusnya komunikasi antara media dan Kepala Dinas PUTR, Edwin Defrizen. Setelah berita mengenai temuan BPK terbit, upaya konfirmasi lanjutan dari jurnalis menemui kegagalan pesan WhatsApp hanya centang satu, padahal sebelumnya aktif saat dikonfirmasi (centang dua).
Diduga kuat, nomor jurnalis diblokir sepihak oleh Edwin setelah konfirmasi pertama dikirimkan. Tindakan ini dinilai sebagai upaya menghambat kerja pers dan menutup akses informasi publik, bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Gunawan menilai pemblokiran ini sebagai bentuk resistensi terhadap transparansi. “Jika tak ada yang disembunyikan, seharusnya terbuka dan menjawab. Bukan memutus akses media. Ini mengarah ke obstruksi keterbukaan informasi,” tegasnya.
Desakan agar KPK segera mengusut kasus ini semakin deras. “Ini bukan lagi sekadar kelalaian teknis, tapi sistematis. Negara dirugikan miliaran! KPK jangan diam!” seruan Gunawan.
Ia berharap KPK mengaudit ulang proyek-proyek di PUTR dan membuka kemungkinan adanya praktik mark-up, fiktif, atau proyek asal jadi. “Kalau ini dibiarkan, korupsi di daerah Labura akan makin tak terbendung,” tambahnya.
(Ricki Chaniago)
Komentar