Asahan, bidikkasusnews.com – Dugaan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Afirmasi tahun 2019 kembali melanda sektor pendidikan Kabupaten Asahan. Puluhan mahasiswa Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) melaksanakan aksi demonstrasi damai di tiga titik strategis: Dinas Pendidikan, Kantor Bupati Asahan, dan Kejari Asahan. Situasi paling memanas tercatat di Dinas Pendidikan Kabupaten Asahan. Rabu (10/12/2025).
Aksi yang bertujuan menuntut transparansi dan akuntabilitas muncul setelah AMPD melakukan investigasi lapangan. Total alokasi BOS Afirmasi untuk seluruh Sumatera Utara tahun 2019 mencapai lebih dari Rp231 miliar, dengan Asahan sebagai salah satu penerima terbesar yang mendapatkan anggaran lebih dari Rp12 miliar lebih.
Dana BOS Afirmasi merupakan program strategis pemerintah pusat yang dialokasikan khusus untuk sekolah dasar dan menengah di daerah tertinggal, guna mendukung pendidikan era digital dan memperkecil kesenjangan mutu pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
Selama orasi di Dinas Pendidikan, Pimpinan Aksi AMPD Gunawan Situmorang memaparkan kejanggalan yang ditemukan.
“Dinas Pendidikan Asahan bertanggung jawab mengawasi alokasi dana untuk 100 Sekolah Dasar dan 27 Sekolah Menengah Pertama di Asahan, dengan total lebih dari Rp10 miliar lebih. Dana ini diperuntukkan pengadaan tablet, komputer PC, laptop, proyektor, access point, dan hardisk eksternal,” paparnya.
Namun, menurut Gunawan, tidak satupun sekolah yang dapat menunjukan fisik tablet yang seharusnya diterima.
“Pada sekolah yang saya investigasi, tidak ada yang bisa tunjukkan tabletnya. Bahkan, mereka tidak tahu kegunaannya – padahal sekolah itu tidak memiliki jaringan internet, yang merupakan salah satu syarat menjadi penerima BOS Afirmasi,” tegasnya.
Gunawan bahkan menduga adanya indikasi pengadaan fiktif.
“Saya menduga ada pemanfaatan barang negara tanpa hak, bahkan patut diduga terindikasi pengadaan fiktif,” pungkasnya.
Situasi menjadi memanas ketika massa menyadari tidak satu pun pejabat berwenang terkait pengelolaan dana termasuk Kepala Dinas Pendidikan yang hadir. Bahkan, tidak ada perwakilan resmi yang ditunjuk untuk menerima aspirasi atau memberikan keterangan.
Merasa diabaikan, massa menjadi tersulut emosi, melakukan sweeping ke arah ruangan Kepala Dinas dan ruang kantornya yang terkunci, bahkan masa aksi menggedor-gedor pintu besi ruangan tersebut berharap ada yang muncul memberikan penjelasan. Namun, tidak satupun perwakilan dari Dinas Pendidikan yang muncul.
Riski, salah satu demonstran, menyatakan “Kondisi ini adalah bentuk arogansi birokrasi dan pelecehan terhadap hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat.” Ia juga meminta Bupati Asahan membatalkan pelantikan Kepala Dinas Pendidikan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. “Kami menilai beliau tidak layak untuk menduduki posisi kepala dinas,” tambahnya.
Ketidakhadiran pejabat pada aksi yang telah diagendakan menimbulkan pertanyaan serius. Amri Butar-butar, yang memberikan kajian terkait isu ini, menyatakan “Ketidakhadiran ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya sengaja untuk menghindari konfrontasi publik dan menghindar dari tanggung jawab memberikan klarifikasi. Ini menunjukkan sikap tidak kooperatif terhadap tuntutan transparansi.”
“Sikap ini justru memperkuat dugaan publik bahwa ada hal yang disembunyikan. Bahkan jika ada alasan teknis seperti tugas dinas di luar kota, institusi publik wajib menunjuk staf berwenang untuk mewakili. Kegagalan ini juga menunjukkan kelemahan dalam manajemen krisis dan koordinasi internal yang buruk.” tambah Amri Butar-butar.
Kesimpulan yang muncul adalah ketidakhadiran perwakilan resmi di tengah isu sensitif seperti ini sangat disayangkan. Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah setempat, tetapi juga memperkuat narasi demonstran mengenai adanya praktik tertutup dan tidak transparan dalam birokrasi Asahan.
(Ricki Chaniago)





Komentar