Festival Mardoton Ajang Menggali Tradisi Menjadi Budaya Dan Wisata Samosir



Samosir, bidikkasusnews.com - Sabtu 13-3-2021 dijadwalkan digelarnya Festival Mardoton (menangkap ikan) di Danau Toba. Festival ini diikuti sejumlah nelayan yang selama ini mencari ikan di kawasan Danau Toba.

Pelaksanaan festival ini berangkat dari semakin terpuruknya kehidupan nelayan di kawasan Danau Toba. Ketidakseimbangan ekosistem Danau Toba dinilai menjadi pemicu minimnya jumlah tangkapan ikan nelayan, termasuk kontribusi limbah domestik.

Nelayan-nelayan yang dikenal dengan istilah lokal, “Pandaram, Martoba, Panggobuk, dan Paddabu”, mengaku saat ini kehidupan mereka tidak seindah pemandangan Danau Toba.

Atas keresahan para nelayan, Komunitas Anak Tao (Komunitas Pemuda Kreatif Toba) berinisiatif mengembalikan kejayaan “Pandaram”.

Perwakilan Komunitas Anak Tao, Febry Tua Siallagan, mengatakan, mereka hadir bersama para nelayan tradisional dalam Festival Edukasi “Mardoton” di Pulau Samosir. Mardoton diartikan, bertangkap ikan menggunakan jaring secara tradisional.

Dalam festival ini, kata Febry, mereka mengajak semua pihak untuk menjaga ekosistem Danau Toba. Seperti, mardoton dengan berbasis kearifan lokal, meminimalisir tangkapan ikan kecil dengan menerapkan mata jaring yang lebih besar, dan melarang penggunaan strum dan bom ikan, atau racun.

Selain menangkap ikan dengan ukuran terpola, ditargetkan menabur benih secara berkala.

“Membiasakan syukuran pemujaan terhadap Maha Pencipta melalui “Pasahat Itak Putih Tu Namboru Saniang Naga” yang secara Batak diyakini sebagai Dewi Air pemberi berkat,” terangnya.

Mardoton, katanya, merupakan salah satu kekayaan intelektual para pendahulu di pinggiran Danau Toba untuk menghidupi keluarga. Sampai hari ini, mardoton masih menjadi sistem mata pencaharian sebagian masyarakat di sana.

Oppu Dika Sinaga (65), keluarga para Pandaram yang menggantungkan hidup dari mardoton di Pulau Samosir. Ia mengatakan, Pandaram merupakan istilah untuk nelayan tradisional Danau Toba.

Bagi Oppu Dika Sinaga, ada ketentuan-ketentuan tertentu agar pandaram atau pardoton bisa menghasilkan tangkapan ikan yang baik dari Danau Toba. Mulai mempersiapkan doton yang biasa disebut “pauli doton, mangikkot-ikkot, atau manopong doton”.

Manopong doton, katanya, berarti bermain dengan hitungan, menghitung mata jaring pada doton. Doton tidak dapat dipasang ke danau bila tidak ada “ramo”, pelampung. Jarak ramo pertama dengan ramo kedua dan selanjutnya tentu diikat berdasar jumlah hitungan topongan yang sudah ditentukan. Satu hitungan topongan pun tidak ada yang boleh meleset.

Bila hitungan lebih atau kurang, risiko kerusakan doton tinggi serta tangkapan ikan tidak berhasil baik. Hitungan topongan yang tepat mampu menangkap ikan dengan baik. Membalut tanpa mencekik ikan, sehingga ikan mampu bertahan hidup lebih lama.

Topongan yang tidak tepat, akan mengakibatkan doton mudah terkoyak bila ikan yang ukurannya jauh lebih besar menabrakkan diri ke doton. Manopong bagi pandaram, harus membutuhkan konsentrasi penuh. kesulitan manopong doton bukan hal yang gampang dikerjakan.

Ada rumus matematika agar mata jaring tak lari. Doton yang rusak, pada masanya tidak tetiba langsung diganti doton baru. Ada ilmu spesialis untuk memperbaikinya. istilahnya, “mangumei”, yang dalam praktiknya menyatukan kembali yang terpisah, merajut benang-benang yang terkoyak.

Festival Mardoton kali ini, jatuh di Bulan Sipaha Sada pada Penanggalan Kalender Batak. Festival ini digelar sepanjang Bibir Pantai Tuktuk dan sekitarnya.

Pada mulanya menggunakan bubu, kemudian penggunaan doton pun mulai akrab. Bahan doton terbuat dari atom maupun berbahan kain yang dirajut menjadi mata jaring beragam ukuran setelah diproduksi massal secara pabrikan.

Pada festival ini, sambung Febry, Komunitas Anak Tao berfokus pada edukasi melalui beberapa rangkaian kegiatan. Antara lain, Focus Group Discussion, pembentukan Komunitas Pardoton, Perlombaan Manopong Doton, Edukasi Ekosistem Danau Toba, Penaburan 20 Ribu Benih Ikan Jahir dan 200 Benih Endemik Toba, lomba menghias solu, pameran kuliner ikan Danau Toba, pemutaran film semi dokumenter “Ahu Pardoton” hingga penanaman 100 bibit pohon yang tentu harus diikuti perawatan (bukan sekedar tanam).

Dalam rangkaian menurunkan perahu ke Danau Toba atau “Poda Patuat Solu”, biasanya ada ritual tertentu.

“Manduda nitak asa horas-horas mamakke, jala dapot-dapotan mabbuat dekke. Jala dipangido i tu Par Aek Silio-tio. Ima na di dok Namboru Saneang Naga Laut,” kata Oppu Disnan Sigiro beberapa waktu lalu.

Apa yang dilafalkan Oppu Disnan, adalah kutipan doa yang biasa dia lakukan saat menurunkan solu ke Danau Toba sebelum dipakai bertangkap ikan atau “mandaram”.

Oppu Disnan Sigiro, sesepuh dalam lingkar Pandaram yang bahkan separuh hidupnya menghabiskan waktu sebagai Pandaram di Pulau Samosir. Dia seorang yang masih setia dengan pesan dan petuah-petuah leluhur.

Oppu Disnan berkata, ada prosesi tertentu agar solu membawa keberuntungan pada pengguna. Membuat sesajian dari tepung beras untuk media doa kepada Tuhan Sang Pencipta melalui Namboru Saneang Naga Laut. Saneang Naga Laut, menurut orang Batak sebagai Dewi Air yang diwakilkan perwakilan Tuhan sebagai pemberi berkat yang berkuasa di air.

“Manduda nitak asa horas-horas mamakke, jala dapot-dapotan mabbuat dekke. Jala dipangido i tu Par Aek Silio-tio. Ima na di dok Namboru Saneang Naga Laut (Menyajikan itak, sebagai media doa agar kita sehat-sehat dalam memakai solu dan mendapatkan ikan yang banyak dari Danau Toba,” sebut Oppu Disnan Sigiro.

Itak yang dipakai, khusus untuk ritual yang berhubungan dengan Danau Toba, adalah itak Gabur-gabur. Tujuannya, kata Oppu Disnan, agar seperti filosofi itak tersebut, Pandaram bisa memperoleh kemakmuran.


(Bastian Simbolon)

Artikel Terkait

Berita|Sumut|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya

 


 

VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami