Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com - Pengadaan bantuan bibit sapi di Pemerintahan Desa Damuli Kebun, Kecamatan Kualuh Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara, menjadi sorotan publik. Anggaran fantastis untuk bantuan Ketahanan Pangan (Hanpang) berupa bibit sapi induk bagi masyarakat menimbulkan kecurigaan. Minggu, (14/9/2025)
Berdasarkan laporan, Pemerintah Desa (Pemdes) Damuli Kebun mengalokasikan bantuan bibit sapi induk sebanyak 15 ekor pada tahun 2024. Namun, realisasi di lapangan menunjukkan bahwa sapi yang diberikan bukanlah sapi induk, melainkan sapi anakan yang telah disapih. Alokasi jenis dan jumlah sapi yang sama sebelumya juga dianggarkan pada tahun 2023, namun dengan nilai anggaran yang berbeda signifikan.
Kecurigaan mark-up menguat setelah perbedaan nilai anggaran terungkap. Pada tahun 2023, Pemdes merealisasikan Rp266.000.000 untuk 15 ekor sapi, atau Rp17.733.333 per ekor. Pada tahun 2024, dengan jenis dan jumlah yang sama, realisasi hanya Rp126.000.000, atau Rp8.400.000 per ekor. Selisih lebih dari Rp9 juta per ekor memicu pertanyaan tentang keberadaan sisa dana.
Saat konfirmasi, tim media mencoba meminta daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) kepada S selaku Sekretaris Desa (Sekdes) di kantornya. Sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di tingkat desa, Sekdes seharusnya menyediakan data tersebut. Namun, Sekdes menolak dengan mengarahkan tim media ke Kominfo dan beralasan harus meminta izin kepala desa.
"Kalau dibolehkan Pak Kades, saya kasih bang, nanti saya konfirmasi ke Pak Kades dulu, nanti saya hubungi abang," kata Sekdes pada Rabu, (10/9/2025)
Janji Sekdes tak kunjung ditepati, menimbulkan dugaan bahwa Kepala Desa Damuli Kebun enggan memberikan data. Perilaku ini menghambat akses informasi publik dan berpotensi melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Kasus ini berpotensi menyeret oknum ke ranah hukum. Analisis tim media dan pengamat menyebutkan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengamanatkan pengelolaan keuangan desa berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif, serta tertib dan disiplin anggaran. Penggelembungan harga dan ketidaksesuaian spesifikasi barang adalah pelanggaran prinsip-prinsip ini, yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang.
Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga mengatur tata cara pengelolaan keuangan desa. Dugaan mark-up dan penyimpangan spesifikasi barang mengindikasikan prosedur pengadaan tidak sesuai ketentuan.
Jika dugaan penggelembungan harga terbukti, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena terindikasi menyalahgunakan wewenang untuk merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Berita sebelumnya, program bantuan ketahanan pangan di Desa Damuli Kebun diduga bermasalah. Anggaran Rp392 juta untuk pengadaan 30 ekor sapi induk pada 2023–2024 menuai sorotan, setelah muncul dugaan bahwa bantuan tersebut tidak diterima sebagian besar warga.
Sekdes menyampaikan bahwa pengadaan sapi yang diserahkan kepada masyarakat berupa sapi anakan yang telah disapih sebanyak 15 ekor di tahun 2023 dan 15 ekor juga ditahun 2024 saat dikonfirmasi dikantor Kepala Desa Damuli Kebun.
Pemerhati publik dan aktivis mahasiswa mengecam dugaan penyimpangan tersebut. Mereka menilai kasus ini indikasi mark-up dan potensi korupsi Dana Desa, serta bukti lemahnya pengawasan dari aparat terkait. Dana desa yang seharusnya menyejahterakan rakyat berpotensi menjadi "bancakan" segelintir elit.
Masyarakat mendesak aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan Tinggi Sumut, untuk mengusut kasus ini secara tuntas. Audit investigatif, pemeriksaan dokumen, dan penelusuran aliran dana diperlukan guna memastikan transparansi dan akuntabilitas, serta menindak tegas pihak-pihak yang terlibat.
(Ricki Chaniago/Tim)
Komentar