Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com – Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) kembali menuai sorotan. Temuan investigasi mengungkap adanya dugaan ketidaksesuaian antara laporan resmi dengan data yang dipublikasikan di situs Pemerintah Kabupaten Labura. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait integritas pengelolaan keuangan desa. Kamis (27/11/2025).
Tim investigasi bersama awak media melakukan verifikasi silang terhadap dokumen yang diunduh dari laman resmi Pemkab Labura. Hasilnya, ditemukan perbedaan signifikan pada realisasi kegiatan maupun Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dari tahun ke tahun. Indikasi ini mengarah pada kemungkinan adanya manipulasi data untuk kepentingan tertentu.
Ketidaksinkronan semakin jelas terlihat saat laporan tahunan Dana Desa tidak sesuai dengan laporan tahun sebelumnya. SiLPA yang seharusnya menjadi saldo awal pada tahun anggaran selanjutnya tercatat berbeda dari data resmi yang dipublikasikan.
Dalam rekapitulasi terhadap 82 desa sejak 2018 hingga 2024, ditemukan selisih angka yang mencolok. Puluhan desa diduga mencatatkan realisasi kegiatan dan SiLPA yang tidak sesuai dengan laporan yang disampaikan Pemkab Labura.
Upaya konfirmasi dilakukan kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Labura. Meskipun data yang bersumber dari Operator Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) dan temuan lapangan media menunjukkan kesesuaian, laporan yang disampaikan Kepala Bidang Desa kepada pimpinan justru berbeda. Laporan internal tersebut juga dinilai tidak konsisten dari tahun ke tahun, sehingga memperkuat dugaan adanya ketidaktransparanan. (18/11/2025)
Untuk memastikan keakuratan data, awak media telah meminta salinan Laporan Realisasi APBDes kepada Kepala Dinas PMD. Namun, Kadis meminta waktu hingga Selasa, 25 November 2025, untuk menyerahkan dokumen tersebut.
Ketua Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) Sumut, Gunawan Situmorang, turut menyoroti kinerja Dinas PMD Labura dan menilai adanya pelanggaran regulasi dalam pengelolaan administrasi desa.
“Pengelolaan keuangan desa sudah diatur melalui berbagai regulasi seperti UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP 43 Tahun 2014 jo. PP 47 Tahun 2015, serta Permendagri Nomor 20 Tahun 2018. Semua aturan itu menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan disiplin anggaran,” tegas Gunawan.
Ia juga menilai dugaan manipulasi data dapat berimplikasi pada tindak pidana.
“Dugaan ketidaksesuaian data dan kemungkinan manipulasi laporan berpotensi melanggar hukum, termasuk unsur tindak pidana korupsi. Pelanggaran tersebut bisa mencakup penyalahgunaan wewenang, pemalsuan laporan keuangan, hingga tindakan yang menyebabkan kerugian negara. Pejabat yang terbukti menyampaikan laporan palsu dapat dijerat UU Tipikor,” jelasnya.
Gunawan menilai kasus ini telah merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dan dapat mengganggu efektivitas penyaluran Dana Desa. Ketidakakuratan laporan juga dinilai menghambat proses audit oleh BPK maupun Inspektorat, serta membuka ruang terjadinya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Gunawan mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) tidak bersikap pasif.
“APH dan APIP jangan berpangku tangan. Mereka digaji oleh masyarakat dan harus sigap. Kalau masih diam, perlu dipertanyakan kapasitas dan integritasnya. Jangan sampai masyarakat yang selalu disalahkan karena tidak melapor, sementara mereka sendiri tidak bergerak,” kecamnya.
Ia menegaskan bahwa audit menyeluruh harus segera dilakukan.
“Lakukan audit forensik terhadap laporan keuangan 82 desa di Labura. Ini penting untuk memastikan keabsahan data dan menindak pihak-pihak yang diduga terlibat dalam manipulasi keuangan desa,” tutup Gunawan.
(Ricki Chaniago)





Komentar