Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com –Misteri seputar pengadaan barang dan jasa di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) kembali mencuat ke permukaan. Setelah sebelumnya diberitakan terkait perencanaan yang tidak di umumkan di SPSE, hingga kelalaian dalam pencatatan serah terima barang, kini muncul dugaan kuat praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur dan sistematis di tubuh Dinkes Labura. Rabu, (2/7/2025).
Berdasarkan data yang dihimpun tim media pada Dinkes Labura Tahun Anggaran 2023 mengungkap fakta mencengangkan: tidak satu pun penyedia lokal dari Kabupaten Labuhanbatu Utara yang berhasil memenangkan proyek. Seluruh paket pengadaan dimenangkan oleh penyedia dari luar daerah, seperti kab. Labuhanbatu, Kab. Asahan, Kab. Deli Serdang, Kab. TOBA bahkan hingga Medan Kota.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pelaku usaha lokal sama sekali tidak dilibatkan? Apakah ada skenario tersembunyi yang sengaja mengesampingkan potensi lokal demi kepentingan tertentu?
Kecurigaan publik semakin tajam ketika ditelusuri pengadaan tahun 2023, khususnya pada metode non-tender. Hampir seluruh paket hanya diikuti oleh satu peserta saja dan selalu dari luar daerah. Praktik semacam ini melanggar prinsip-prinsip dasar pengadaan, yakni transparansi, persaingan sehat, keadilan, efisiensi, dan efektivitas.
Kondisi ini memperkuat dugaan telah terjadi pengaturan pemenang proyek, bahkan sebelum pengumuman dilakukan. Proses pengadaan yang seharusnya kompetitif justru terkesan formalitas semata menutup peluang bagi pelaku usaha lain, terutama dari daerah sendiri.
Upaya konfirmasi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinkes Labura, Surya Doni, S.Farm., Apt yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan tidak membuahkan hasil. Hingga beberapa berita diterbitkan pihak Dinkes Labura belum memberikan Klarifikasi Resminya. Sikap bungkam ini dinilai sebagai bentuk ketidakterbukaan informasi publik yang seharusnya menjadi bagian dari akuntabilitas lembaga negara.
Seorang pemerhati pengadaan yang enggan disebutkan namanya menyebut adanya “kewajiban tidak tertulis” yang harus dipenuhi untuk bisa ikut serta sebagai penyedia proyek.
“Kalau belum masuk sistem dan tak ikut aturan main mereka, jangan harap bisa dapat proyek. Tidak ada makan siang yang gratis bos.” ujarnya, menyindir praktik dibalik layar yang selama ini jadi rahasia umum.
Pernyataan tersebut menguatkan dugaan adanya praktik pelicin atau fee proyek yang menjadi syarat tak resmi untuk bisa memperoleh pekerjaan, yang jelas bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.
Jika benar terjadi, maka ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi bisa masuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Skema semacam ini merugikan banyak pihak terutama masyarakat Labura yang seharusnya menikmati manfaat dari layanan kesehatan yang baik.
Publik menuntut langkah tegas dari aparat penegak hukum, termasuk inspeksi internal oleh Inspektorat Daerah, BPK, BPKP, maupun keterlibatan KPK apabila unsur pidana korupsi terbukti kuat. Transparansi dan akuntabilitas bukan hanya tuntutan hukum, tetapi hak masyarakat.
Pada berita sebelumnya menjelaskan bahwa Sejak tahun 2023, mayoritas paket pengadaan di Dinkes Labura tidak ditayangkan di Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). Padahal, platform ini wajib mempublikasikan semua informasi pengadaan demi transparansi.
Tahun 2023: Dari 325 paket senilai Rp131,2 miliar yang direncanakan, hanya 35 paket (Rp20,1 miliar) yang terkontrak. Ironisnya, cuma 23 paket yang muncul di SPSE.
Tahun 2024: Dari 279 paket senilai Rp29,9 miliar, hanya 46 paket (Rp13,1 miliar) yang terkontrak, dengan hanya 20 paket yang tayang di SPSE.
Situasi ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sikap tertutup Kepala Dinkes Labura, Jannah SKM, MM, yang bahkan memblokir nomor jurnalis, serta Sekretaris Dinkes, Surya Doni S.Farm, Apt, yang tak kunjung merespons, makin menguatkan kecurigaan publik akan adanya penyalahgunaan wewenang, proyek fiktif, atau praktik korupsi.
Proyek Misterius dan Tuntutan 2023, ditemukan juga bahwa 27 paket proyek pengadaan barang/jasa Dinkes Labura senilai lebih dari Rp16,6 miliar pada anggaran 2023 tidak jelas rimbanya. Proyek-proyek ini tidak tercatat dalam sistem monitoring dan evaluasi pada tahap serah terima.
Dari 35 paket yang terkontrak senilai Rp20,1 miliar, hanya 8 paket (Rp3,5 miliar) yang tercatat sudah diserahterimakan. Ini berarti sebagian besar proyek miliaran rupiah lainnya masih menggantung tanpa kejelasan.
Sikap bungkam Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Sekretaris Dinkes Labura, Surya Doni S.Farm, Apt., saat dikonfirmasi, semakin memperparah spekulasi publik. Dugaan praktik seperti pemecahan paket (splitting), pengadaan fiktif, pengalihan proyek, hingga mark-up nilai kontrak pun mencuat.
(Ricki Chan)
Komentar