BI-Rate Tetap 4,75%: Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Mempertahankan Stabilitas

Jakarta, bidikkasusnews.com - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Desember 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 4,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,50%. Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah masih tingginya ketidakpastian global dengan tetap memperkuat efektivitas transmisi pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah ditempuh selama ini untuk menjaga stabilitas dan mendorong perekonomian nasional. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga BI-Rate lebih lanjut dengan prakiraan inflasi 2026 yang terkendali dalam sasaran 2,5±1%, serta perlunya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pelonggaran kebijakan makroprudensial diperkuat dengan meningkatkan efektivitas implementasi pemberian likuiditas kepada perbankan untuk mempercepat penurunan suku bunga dan meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan ke sektor riil, khususnya sektor-sektor prioritas Pemerintah. Kebijakan sistem pembayaran tetap diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif melalui perluasan akseptasi pembayaran digital, penguatan struktur industri sistem pembayaran, dan peningkatan daya tahan infrastruktur sistem pembayaran.

Arah bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk tetap mempertahankan stabilitas dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tersebut didukung dengan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:

Penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi baik transaksi Non-Deliverable Forward (NDF) di pasar luar negeri maupun transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) di pasar domestik. Strategi ini disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;

Penguatan strategi operasi moneter pro-market  untuk memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam mendorong penurunan suku bunga dan ekspansi likuiditas melalui:

mengelola struktur suku bunga instrumen moneter;​

mengoptimalkan penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan; 

membeli SBN di pasar sekunder secara terukur;

​Pemberian remunerasi atas penempatan dana bank pada excess reserves untuk meningkatkan fleksibilitas perbankan dalam memanfaatkan kelebihan likuiditas untuk penyaluran kredit/pembiayaan ke sektor riil. Besaran remunerasi pada excess reserves ditetapkan sebesar 25 bps di bawah tingkat suku bunga Deposit Facility, yakni sebesar 3,50%, sedangkan remunerasi pada Giro Wajib Minimum (GWM) tetap sebesar 1,50%; 

Penguatan implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang berbasis kinerja dan berorientasi ke depan untuk mempercepat penurunan suku bunga kredit/pembiayaan perbankan dalam rangka optimalisasi intermediasi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian, yang berlaku efektif pada 16 Desember 2025, sebagai berikut:

mempertahankan besaran insentif KLM paling tinggi sebesar 5,5% dari DPK;

menyesuaikan besaran insentif KLM yang berasal dari penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia (lending channel) dari semula paling tinggi sebesar 5% menjadi paling tinggi sebesar 4,5%; 

menyesuaikan besaran insentif yang berasal dari penetapan suku bunga kredit/persentase imbalan pembiayaan yang sejalan dengan arah suku bunga kebijakan Bank Indonesia (interest rate channel) dari semula paling tinggi sebesar 0,5% menjadi paling tinggi sebesar 1,0%;

Penguatan publikasi asesmen transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit berdasarkan sektor prioritas yang menjadi cakupan KLM, termasuk respons perubahan SBDK terhadap perubahan suku bunga kebijakan Bank Indonesia (Lampiran 1);

Perpanjangan kebijakan Kartu Kredit (KK) dan kebijakan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) sampai dengan 30 Juni 2026, meliputi: ​(i) kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang KK 5% dari total tagihan dan kebijakan nilai denda keterlambatan sebesar maksimum 1% dari total tagihan serta tidak melebihi Rp100.000; dan (ii) tarif SKNBI sebesar Rp1 dari Bank Indonesia ke bank dan tarif SKNBI maksimum Rp2.900 dari bank ke nasabah;

​Penguatan strategi akseptasi digital tahun 2026, melalui: (i) kampanye QRIS Jelajah Kuliner Indonesia 2026 dan Tourist Travel Pack di destinasi wisata; dan (ii) perluasan implementasi QRIS Tap di sektor transportasi dan ritel;

Penguatan ketersediaan dan kelancaran sistem pembayaran tunai dan nontunai di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya selama periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, termasuk melalui penyelenggaraan Semarak Rupiah di Hari Natal Penuh Damai (SERUNAI) pada 8-23 Desember 2025 untuk memenuhi kebutuhan penukaran uang masyarakat;

Penguatan dan perluasan kerja sama internasional di area kebanksentralan, termasuk konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal, serta fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait.

​Bank Indonesia juga terus mempererat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Sinergi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah diperkuat untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita Pemerintah. 

Perekonomian global jangka pendek membaik namun dengan ketidakpastian yang perlu terus diwaspadai. Pertumbuhan ekonomi dunia 2025 diprakirakan menjadi sekitar 3,2% dipengaruhi oleh kenaikan ekonomi Jepang dan India yang didukung konsumsi rumah tangga dan kebijakan stimulus fiskal. Prospek ekonomi kawasan Eropa tetap baik ditopang konsumsi rumah tangga, investasi, dan kondisi ketenagakerjaan. Sementara itu, ekonomi AS pada 2025 masih melambat dipengaruhi dampak temporary government shutdown dan pelemahan pasar tenaga kerja. Prospek ekonomi Tiongkok juga terus melambat dipengaruhi permintaan domestik yang tetap lemah. Pada 2026, pertumbuhan ekonomi dunia diprakirakan melemah menjadi 3,0% dipengaruhi dampak lanjutan tarif resiprokal AS dan kerentanan rantai pasok global. Di pasar keuangan global, Fed Funds Rate (FFR) turun 25 bps pada Desember 2025 dengan kecenderungan penurunan yang lebih terbatas ke depan. Tingkat imbal hasil (yield) US Treasury tenor 2 tahun cenderung bergerak naik, sementara yield US Treasury tenor 10 tahun tetap tinggi sejalan dengan tingginya tingkat utang Pemerintah AS. Perkembangan ini menyebabkan indeks mata uang AS (DXY) masih tinggi dan tetap terbatasnya aliran masuk modal asing ke emerging market (EM). Ke depan, ketidakpastian perekonomian global diprakirakan tetap tinggi dengan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang masih lemah. Kondisi tersebut memerlukan kewaspadaan dan penguatan respons kebijakan untuk memperkuat daya tahan ekonomi domestik dari rambatan global serta mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik dan perlu terus didorong agar sesuai dengan kapasitas perekonomian. Konsumsi rumah tangga triwulan IV 2025 membaik didukung oleh belanja sosial Pemerintah, serta keyakinan rumah tangga terhadap kondisi penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja yang terus meningkat. Perkembangan ini mendorong meningkatnya penjualan eceran pada berbagai kelompok barang. Investasi, khususnya nonbangunan, membaik dipengaruhi oleh meningkatnya keyakinan pelaku usaha yang tecermin pada pola ekspansi Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur. Permintaan domestik tersebut perlu makin diperkuat sejalan dengan kinerja ekspor yang diprakirakan melambat seiring berakhirnya frontloading ekspor ke AS serta menurunnya ekspor besi baja ke Tiongkok dan minyak kelapa sawit (CPO) ke India. Secara sektoral, Lapangan Usaha (LU) utama, yakni LU Industri Pengolahan, LU Perdagangan Besar dan Eceran, LU Transportasi dan Pergudangan, serta LU Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum menunjukkan kinerja positif. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2025 diprakirakan berada dalam kisaran 4,7–5,5% dan meningkat menjadi 4,9–5,7% pada 2026. Ke depan, berbagai upaya perlu terus ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan tetap menjaga stabilitas. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan melalui penguatan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang bersinergi erat dengan kebijakan stimulus fiskal dan sektor riil Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi dan berdaya tahan. 

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) meningkat dan mendukung ketahanan eksternal. Surplus neraca perdagangan berlanjut pada Oktober 2025 sebesar 2,4 miliar dolar AS didukung oleh ekspor nonmigas berbasis sumber daya alam seperti batu bara serta minyak dan lemak nabati (CPO), serta ekspor produk manufaktur seperti besi dan baja. Dari transaksi modal dan finansial, investasi portofolio pada triwulan IV 2025 (hingga 15 Desember 2025) mencatat net inflows sebesar 5,0 miliar dolar AS ditopang oleh penerbitan global bond Pemerintah dan inflows pada instrumen saham dan SRBI. Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2025 meningkat menjadi sebesar 150,1 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. NPI pada 2025 diprakirakan tetap berdaya tahan, dengan transaksi berjalan diprakirakan berada pada kisaran surplus 0,1% sampai dengan defisit 0,7% dari PDB. Pada 2026, NPI diprakirakan berlanjut membaik ditopang oleh transaksi modal dan finansial yang semakin baik sejalan dengan prospek ekonomi Indonesia yang positif serta defisit transaksi berjalan yang tetap rendah dalam kisaran 1,0–0,2% PDB. 

Nilai tukar Rupiah terkendali didukung kebijakan stabilisasi Bank Indonesia dan aliran masuk modal asing ke instrumen keuangan domestik. Nilai tukar Rupiah pada 16 Desember 2025 tercatat sebesar Rp16.685 per dolar AS, relatif stabil bila dibandingkan dengan level akhir November 2025. Perkembangan nilai tukar Rupiah masih sejalan dengan pergerakan mata uang regional dan mitra dagang Indonesia, bahkan tercatat menguat bila dibandingkan dengan mata uang negara maju, kecuali AS. Perkembangan ini didukung oleh langkah stabilisasi Bank Indonesia melalui intervensi pasar NDF baik di off-shore maupun on-shore (DNDF), di pasar spot, dan pembelian SBN di pasar sekunder serta inflows pada saham dan SRBI. Selain itu, tambahan pasokan valas dari korporasi, termasuk dari peningkatan konversi valas ke Rupiah oleh eksportir seiring penerapan penguatan kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), juga mendukung tetap terkendalinya nilai tukar Rupiah. Ke depan, Bank Indonesia berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah termasuk melalui intervensi terukur di transaksi NDF, DNDF dan pasar spot, serta pembelian SBN di pasar sekunder sehingga dapat mendukung pencapaian sasaran inflasi. Nilai tukar Rupiah diprakirakan akan stabil didukung oleh imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan tetap baiknya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.  

Inflasi secara umum tetap terjaga dalam kisaran sasaran, dengan inflasi IHK pada November 2025 tercatat sebesar 2,72% (yoy). Perkembangan ini dipengaruhi inflasi inti yang tetap terjaga sebesar 2,36% (yoy), sejalan pertumbuhan ekonomi yang masih di bawah kapasitas serta didukung konsistensi suku bunga kebijakan moneter Bank Indonesia dalam menjangkar ekspektasi inflasi sesuai dengan sasarannya dan imported inflation yang tetap terkendali. Inflasi kelompok administered prices (AP) terjaga rendah sebesar 1,58% (yoy). Sementara itu, inflasi kelompok volatile food (VF) masih relatif tinggi sebesar 5,48% (yoy) disumbang terutama oleh komoditas bawang merah seiring pasokan yang terbatas akibat gangguan cuaca dan kenaikan harga benih. Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi tahun 2025 dan 2026 tetap terjaga rendah dalam sasaran 2,5±1%. Inflasi inti diprakirakan tetap rendah seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas ekonomi yang masih besar, imported inflation yang terkendali, dan dampak positif dari digitalisasi. 

Sementara itu, inflasi VF diprakirakan tetap terkendali didukung oleh sinergi pengendalian inflasi oleh Tim Pengendalian Inflasi Pusat/Daerah (TPIP/TPID) dan penguatan implementasi Program Ketahanan Pangan Nasional. 

Kebijakan moneter Bank Indonesia terus diperkuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan tetap menjaga stabilitas perekonomian. Kebijakan moneter ditempuh melalui penurunan suku bunga BI-Rate, stabilisasi nilai tukar Rupiah, dan ekspansi likuiditas moneter. Sejak September 2024, BI-Rate telah turun sebesar 150 bps, yaitu 25 bps pada September 2024 dan 125 bps selama tahun 2025 menjadi 4,75% hingga November 2025, yang merupakan level terendah sejak tahun 2022. Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah terus diperkuat dengan intervensi di pasar off-shore melalui NDF dan intervensi di pasar domestik melalui pasar spot, DNDF, serta pembelian SBN di pasar sekunder. Ekspansi likuiditas Rupiah juga ditempuh Bank Indonesia melalui penurunan posisi instrumen moneter SRBI dari Rp916,97 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp735,67 triliun pada 16 Desember 2025. Bank Indonesia membeli SBN sebagai bentuk sinergi erat antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, yang hingga 16 Desember 2025 mencapai Rp327,45 triliun, termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp241,99 triliun. Pembelian SBN di pasar sekunder dilakukan sesuai mekanisme pasar, terukur, transparan, dan konsisten dengan program moneter dalam menjaga stabilitas perekonomian sehingga dapat terus menjaga kredibilitas kebijakan moneter. 

Penguatan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dan akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga ditempuh untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Implementasi KLM berbasis kinerja dan berorientasi ke depan yang berlaku sejak 1 Desember 2025 kembali diperkuat pada 16 Desember 2025 guna mempercepat penurunan suku bunga perbankan dengan tetap mendorong penyaluran kredit/pembiayaan ke sektor riil. Hal ini ditempuh dengan meningkatkan besarnya insentif likuiditas bagi perbankan yang menurunkan suku bunga kredit lebih cepat (interest rate channel) dari paling tinggi 0,5% menjadi 1,0% DPK, sementara insentif likuiditas untuk penyaluran kredit (lending channel) masih besar yaitu paling tinggi 4,5% dari DPK. Hingga 16 Desember 2025, total insentif KLM mencapai Rp388,1 triliun, masing-masing disalurkan kepada kelompok bank BUMN sebesar Rp177,1 triliun, BUSN sebesar Rp169,5 triliun, BPD sebesar Rp34,6 triliun, dan KCBA sebesar Rp7,0 triliun. Secara sektoral, insentif KLM disalurkan kepada sektor-sektor prioritas yakni sektor Pertanian, Industri, dan Hilirisasi, Jasa termasuk Ekonomi Kreatif, Konstruksi, Real Estate, dan Perumahan, serta UMKM, Koperasi, Inklusi, dan Berkelanjutan. Ke depan, transmisi suku bunga yang lebih efektif diharapkan dapat mendorong permintaan kredit sehingga penyaluran kredit perbankan menjadi lebih tinggi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Bank Indonesia memandang efektivitas transmisi pelonggaran kebijakan moneter terhadap penurunan suku bunga perbankan perlu terus didorong. Pelonggaran kebijakan moneter yang telah ditempuh Bank Indonesia dan penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) Pemerintah di perbankan perlu diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan lebih cepat. Seiring dengan penurunan BI-Rate sebesar 125 bps selama tahun 2025 dan ekspansi likuiditas moneter Bank Indonesia, suku bunga INDONIA turun sebesar 191 bps dari 6,03% pada awal 2025 menjadi 4,12% pada 16 Desember 2025. Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan juga menurun masing-masing sebesar 226 bps, 226 bps, dan 228 bps sejak awal Januari 2025 menjadi 4,90%; 4,94%; dan 4,98% pada 12 Desember 2025. Imbal hasil SBN untuk tenor 2 tahun menurun sebesar 199 bps dari 6,96% pada awal 2025 menjadi 4,97% pada 16 Desember 2025, sementara untuk tenor 10 tahun menurun sebesar 110 bps dari tingkat tertinggi 7,26% pada pertengahan Januari 2025 menjadi 6,16%. Transmisi penurunan BI-Rate terhadap suku bunga perbankan terus berlanjut, terutama pada suku bunga dana. Suku bunga deposito 1 bulan turun sebesar 67 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,14% pada November 2025. Namun, penurunan suku bunga kredit perbankan cenderung lebih lambat dan karenanya perlu terus didorong, yaitu sebesar 24 bps dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 8,96% pada November 2025. 

Jumlah uang beredar perlu makin ditingkatkan melalui penguatan efektivitas ekspansi likuiditas moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada November 2025, pertumbuhan M0 (tanpa memperhitungkan dampak penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) bank di Bank Indonesia karena pemberian insentif KLM) tercatat sebesar 6,46% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 7,75% (yoy). Pertumbuhan uang Primer (M0) Adjusted, yaitu uang primer yang telah menetralisasi dampak KLM, juga tercatat melambat menjadi 13,33% (yoy) dari pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 14,38% (yoy). Dari komponennya, pertumbuhan M0 yang melambat terutama dipengaruhi oleh berkurangnya penempatan excess reserves bank di Bank Indonesia. Dari faktor yang memengaruhi, pertumbuhan M0 yang melambat dipengaruhi oleh masih rendahnya penyaluran kredit/pembiayaan sehingga mendorong perbankan menempatkan kelebihan likuiditasnya pada instrumen moneter Bank Indonesia. Sementara itu, pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2025 tercatat 7,72% (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada September 2025 sebesar 8,02% (yoy). Dari sisi faktor yang memengaruhi, pertumbuhan M2 yang melambat dipengaruhi belum kuatnya permintaan kredit di tengah pasokan likuiditas perbankan yang telah meningkat. Dari sisi komponen, perlambatan M2 dipengaruhi oleh penurunan pertumbuhan giro dan surat berharga. Ke depan, pertumbuhan uang yang beredar perlu terus didorong melalui sinergi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah guna mendukung pertumbuhan ekonomi. 

Peran kredit perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu terus ditingkatkan. Kredit perbankan pada November 2025 tercatat tumbuh sebesar 7,74% (yoy), meningkat dari 7,36% (yoy) pada bulan sebelumnya. Permintaan kredit terindikasi belum kuat dipengaruhi oleh perilaku wait and see dari pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat. Fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada November 2025 masih besar, yaitu mencapai Rp2.509,4 triliun atau 23,18% dari plafon kredit yang tersedia. Sementara dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank tetap memadai ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang meningkat menjadi sebesar 29,67% dan DPK yang tumbuh sebesar 12,03% (yoy) pada November 2025. Perkembangan ini turut didorong oleh ekspansi likuiditas moneter dan pelonggaran KLM Bank Indonesia, serta ekspansi keuangan Pemerintah termasuk penempatan dana Pemerintah pada beberapa bank besar. Minat penyaluran kredit perbankan umumnya juga masih baik yang tecermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi dan UMKM akibat peningkatan risiko kredit pada kedua segmen tersebut. Kondisi ini memengaruhi pertumbuhan kredit UMKM November 2025 yang terkontraksi sebesar 0,64% (yoy). Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8-11% (yoy) dan akan meningkat pada 2026. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan KSSK untuk mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan serta memperbaiki struktur suku bunga. 

Ketahanan perbankan tetap kuatdengan permodalan yang terjaga pada level tinggi dan risiko kredit yang terjaga rendah. Dari sisi permodalan, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada Oktober 2025 meningkat menjadi sebesar 26,38% sehingga semakin mampu untuk menyerap risiko. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan secara agregat tetap rendah sebesar 2,25% (bruto) dan 0,90% (neto) pada Oktober 2025, namun NPL (bruto) UMKM masih tinggi, yaitu sebesar 4,50% pada November 2025. Hasil stress test Bank Indonesia menunjukkan ketahanan perbankan tetap kuat, ditopang oleh kemampuan bayar dan profitabilitas korporasi yang terjaga. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan bersama KSSK dalam memitigasi berbagai risiko ekonomi global dan domestik yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Pertumbuhan transaksi ekonomi dan keuangan digital pada November 2025 tetap tinggi didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal. Volume transaksi pembayaran digital[1] mencapai 4,66 miliar transaksi atau tumbuh 41,12% (yoy) pada November 2025 didukung oleh perluasan akseptasi pembayaran digital. Volume transaksi aplikasi mobile dan internet masing-masing tumbuh sebesar 15,91% (yoy) dan 16,11% (yoy), termasuk transaksi QRIS yang tumbuh 143,64% (yoy). Kinerja positif tersebut didukung oleh peningkatan jumlah pengguna dan merchant. Dari sisi infrastruktur, volume transaksi ritel yang diproses melalui BI-FAST mencapai 439 juta transaksi atau tumbuh 29,77% (yoy) dengan nilai transaksi mencapai Rp1.092 triliun pada November 2025. Sementara itu, volume transaksi nilai besar yang diproses melalui BI-RTGS tercatat sebanyak 0,87 juta transaksi, dengan nilai sebesar Rp20.463 triliun pada November 2025. Dari sisi pengelolaan uang Rupiah, Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 13,09% (yoy) menjadi Rp1.250,60 triliun pada November 2025.  

Stabilitas sistem pembayaran tetap terjaga ditopang oleh infrastruktur yang stabil dan struktur industri yang sehat. Infrastruktur yang stabil tecermin pada penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (SPBI) dan sistem pembayaran industri yang lancar dan andal serta kecukupan pasokan uang dalam jumlah dan kualitas yang memadai pada November 2025. Struktur industri yang sehat tergambar pada interkoneksi antarpelaku dalam sistem pembayaran yang terus menguat dan diikuti oleh ekosistem Ekonomi Keuangan Digital (EKD) yang meluas. Perluasan adopsi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) mendukung penguatan interkoneksi, tecermin dari transaksi pembayaran berbasis SNAP yang terus meningkat. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memastikan keamanan dan keandalan infrastruktur SPBI, baik ritel maupun wholesale, serta infrastruktur sistem pembayaran industri. Selain itu, struktur industri sistem pembayaran akan terus diperkuat, khususnya pada aspek manajemen risiko dan keandalan infrastruktur teknologi pelaku industri. Edukasi dan sosialisasi penggunaan QRIS Antarnegara di wilayah destinasi pariwisata juga akan semakin diintensifkan selama periode libur Nataru 2025. Bank Indonesia konsisten menjaga ketersediaan uang Rupiah dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang layak edar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk daerah Terdepan, Terluar, dan Terpencil (3T).

(Ariayansah lubis)

Artikel Terkait

Berita|Nasional|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya



 

VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami