Wahyudi SP, MSi : Asheng (Johan) Cs Ada 400 Ha Lahan Sawit di Eksekusi Oleh Dinas Kehutanan Sumut

Labura, bidikkasusnews.com - Nasib WNI turunan Tionghoa yang sudah lama mengelola lahan diareal Kawasan Hutan desa Simandulang Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhanbatu Utara Provinsi Sumatera Utara harus berlapang dada tanamannya diratakan dengan tanah tanpa ada sedikitpun haknya untuk mengelola tanah yang sudah dianggap senyawa dengan dirinya, harapan petani turunan tionghoa ini agar mereka juga harus diperhatikan dan sama haknya dengan masyarakat lainnya, ini telah dilakukan oleh dinas kehutanan UPT KPH lll Sumut. dari Kisaran, namun mereka abaikan.

Menindaklanjuti persoalan tanah yang terkesan diskriminasi berawal dari eksekusi lahan yang dilakukan Dinas Kehutanan Sumut pada tanggal 11 Juli 2017 lalu telah meluluhlantakan puluhan hektar lahan sawit warga petani keturunan Tionghoa yang telah memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah) dari pihak Kecamatan Kualuh Leidong tahun 2010 lalu.

Menyikapi hal tersebut, Kepala UPT KPH  (Kesatuan Pengelola Hutan) Wilayah III Sumut, Wahyudi SP, MSi di Kisaran saat dikonfirmasi Wartawan melalui seluler, Kamis 30 April 2020 membenarkan tentang exsekusi lahan yang dilakukan Dinas Kehutanan Sumut pada tanggal 11 Juli 2017 lalu.
Dijelaskannya lagi, bahwa lahan yang dieksekusi itu semua dikembalikan ke negara, tetapi karena saat ini sudah ada permohonan dari kelompok tani kepada pihak kementerian, maka bentuknya menjadi hutan kemasyarakatan, sebab ada kelompok masyarakat disana yang akan melakukan pemulihan konservasi.
Saat ditanya soal status kepemilikan tanah saudara Johan cs, pihak KPH lll Kisaran Wahyudi membenarkan ada sekira 400 hektar masih kawasan hutan termasuk dulunya milik petani turunan saudara Johan cs.

Saat ditanyakan fungsi Kelompok Tani yang ada dilokasi itu, pihak KPH lll menyatakan disana ada 2 Kelompok Tani Lestari dan Koptan Mardesa. Mereka bergabung menjadi Koptan Mardesa untuk mengembalikan konservasi dilahan tersebut.
 Ketika ditanyakan kembali tentang pengalihan fungsi menjadi hutan mangrup.
Menurutnya, akan dilakukan peralihan kembali yang dulunya tanaman sawit sekarang akan dikembalikan menjadi tanaman kehutanan dan tanaman produktif, ucapnya.

Ketika disinggung wartawan tentang keberadaan tanah yang sudah beralih fungsi dari tanaman keras saat ini menjadi tanaman padi dan palawija.
Ditegaskannya, nanti akan ditanami lagi dengan tanaman keras, ujarnya.

Ketika disinggung wartawan soal pengalihan fungsi tanaman mengapa tidak diserahkan kepada pihak pengelola pertama (red-warga keturunan). Wahyudi kembali menjelaskan, sebelum dieksekusi sudah ada surat-surat dari kami supaya mereka bergabung, namun mereka tidak mengindahkannya, ujarnya mengakhiri diujung pembicaraannya.

Sebelumnya, menurut Kamarul Zaman Hasibuan Ketua Koptan Mardesa yang kerap disapa Zaman pada wartawan, Rabu 29 April 2020 malam di rumahnya mengatakan, bahwa SK.HUM No.44 dari dulunya kawasan itu dinyatakan kawasan hutan dan SK.HUM No.579 itupun tetap kawasan hutan. Jadi kalaupun ada pengusaha  yang mengatakan kok tiba-tiba lahan kami jadi hutan, memang dari dulunya itu adalah hutan.
Soal izin tanah, itu adalah hak BPN (Badan Pertanahan Nasional) karena itu adalah kawasan hutan. Bahkan pemerintah setempatpun tau kalau itupun kawasan hutan. Adapun SKT-nya, wajib dipertanyakan kepada pihak yang mengeluarkannya.

Ketika disinggung soal eksekusi lahan tersebut, Zaman Ketua Koptan Mardesa dengan santainya menjawab, masalah eksekusi orang itu (red-Johan cs) sudah disuruh  mengosongkan atau keluar dari lahan itu jauh hari sebelumnya. Jadi kalau tiba tiba mereka dieksekusi  ya... itu sudah resiko, tegasnya.

Lanjutnya lagi, pihak kehutanan sudah mempunyai kajian panjang mana mungkin sembarangan dalam hal pengeksekusian lahan, makanya dianggarkan dulu dananya untuk mengeksekusiannya  yang disebut EXSEKUSI TERPADU dengan melibatkan Kejaksaan, Hakim dan Kepolisian maupun semuanya dilibatkan. Jadi apapun yang menuntut akan diselesaikan disitu  dan dikarenakan mereka (red-Johan cs) tidak berkekuatan hukum, maka tidak ada yang berani karena semua instansi terlibat dalam exsekusi itu, maka saya membantah kalau dikatakan  exsekusi itu cacat hukum.
Ketika sudah diexsekusi tidak ada perlawanan, karena sebelumnya sudah disurati, semua areal sudah rata, karena saat itu 2 beko yang digunakan tenggelam, makanya pengepakuasian tidak sampai kelahan milik Johan dan pihak Koptan Mardesa sudah berulang kali mengajak bergabung dan ditolak oleh para petani turunan Johan (aseng)
Jadi wewenang diberikan  kepada Koptan Mardesa mengakomodir atas permintaan petani Johan sewaktu mengadakan pertemuan dengan kementerian di Bogor.
Menurut Zaman, merekalah yang mempunyai izin sewaktu mereka rapat dengan Gakum , Polres dan KPH 3 Kisaran, akan kami tindak secara hukum siapapun yang merambah dikawasan itu, karena kalaupun dia (red-Johan cs) berdasarkan SKT akan gugur dengan sendirinya. Tetapi mereka masih punya kemanusiaan.

Koptan Mardesa jangan dikatakan mereka menjarah sawit, karena saat ini yang memiliki sawit itu adalah negara, karena kami legal diserahkan pada kami untuk merawatnya. Terangnya mengakhiri pembicaraannya.

Saat dikonfirmasi Camat Kualuh Leidong, Arifin SPd tentang keabsahan SKT milik warga petani turunan Tionghoa Johan cs, Kamis 30 April 2020 diruangan kerjanya menyatakan, bahwa Surat Keterangan Tanah (SKT) milik Johan cs terdaftar di Pemerintahan Kecamatan Kualuh Leidong sejak 27 Desember 2010 lalu.

Ditempat terpisah dihari yang sama, Johan menjelaskan saat dikonfirmasi wartàwan, SKT itu kami peroleh dari pihak Kecamatan Kualuh Leidong, resmi dan terdaftar, soal lahan itu menjadi wewenang BPN, maka itu menjadi aneh. Lalu dasar alas haknya apa? Seharusnya itukan diterangkan desa lalu dibuat SKT dari Kecamatan lalu disertifikatkan ke BPN. Mana ada langsung loncat ke BPN.
Kami memperolehnya dari Along, tunjukkan aja surat dari Along yang untuk Kelurahan, sebab kami ganti rugi kepada Along. Along ditangkap dan melakukan banding di MA (Mahkamah Agung), Along menang berarti Along tidak melakukan perambahan hutan. Kenapa KPH 3 Kisaran terus membagikan tanah kepada masyarakat yang lain?
Sedangkan eksekusi mati aja ada surat dari pengadilan, jadi eksekusi lahan ini apakah ada surat dari Pengadilan? Kan masih tanda-tanya. Yang jelas surat dari Kementerian KLHK aja ngak suruh saya mengosongkan lahan, terangnya.
Dan saat ini puluhan hektar lahan petani yang lain sudah dicaplok oleh Koptan Mardesa tanpa ada sedikitpun hak diberikan kepada warga keturunan yang sudah mengelola lahan tersebut puluhan tahun lamanya, malah Koptan Mardesa dibantu oleh KPH 3 Kisaran, supaya masyarakat petani turunan agar menyerahkan lahan mereka secara sukarela.

Pihak KPH 3 Kisaran Wahyudi membenarkan ada sekira 400 hektar masih kawasan hutan termasuk milik petani turunan, jelas Johan.
Akibat eksekusi yang dinilai cacat hukum itu, menyisakan trauma yang berkepanjangan. Puluhan tahun, petani keturunan telah mengelola lahan itu dan sudah memiliki alas hak yang diatur oleh perundang-undangan yang berlaku berupa SKT dari Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu Utara, namun karena faktor kekuatan tertentu dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara seakan-akan tak berarti, SKT tersebut dianggap ilegal. Kata Johan.
(Abu Sofyan)

Artikel Terkait

Berita|Sumut|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya

 


 

VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami