opini : Syamsul Azwar, Wartawan Muda
Arosuka, BidikkasusNews.Com - Kabupaten Solok di Sumatera Barat, dahulunya adalah sebuah daerah yang aman dan nyaman. Banyak kalangan merindukan terbangunnya sinergisasi dan harmonisasi antar lembaga, organisasi dan masyarakat dengan pemerintah daerahnya. Budaya musyawarah selama ini menjadi bagian penting dalam kehidupan di tengah masyarakat kian tenggelam bersama waktu.
Benarkah? Pemerintah daerah memiliki andil dari perpecahan peradaban di Kabupaten Solok yang dulu penuh dengan kedamaian hakiki. Kato Nan Ampek terkesan tak lagi menjadi warisan yang amat penting dilestarikan dan dipertahankan di daerah yang berjuluk penghasil markisah ini.
Penulis akan menjabarkan realita pahit ini, semoga menjadi rambu-rambu bagi pemerintah daerah ke depan, untuk kembali ke jalan yang benar. Sudah saatnya kita menyuarakan bersama, mengungkapkan kebenaran, meski lahirnya tulisan ini akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Tulisan Ini merupakan salah satu kritikan yang membangun dalam upaya mencerdaskan anak bangsa sesuai tuntutan Undang-undang dasar negara dan tujuan hakiki yang termaktub dalam kegiatan jurnalistik.
Pertama penulis ingin menjelaskan apa itu (Kato Nan Ampek) yang merupakan pakaian keseharian masyarakat di Minangkabau ini, apalagi di dalam tubuh pemangku Adat adalah warisan budaya, tatacara bergaul dalam bahasa santun, ramah di tengah kehidupan masyarakat adat.
Kato Nan Ampek adalah empat cara berdialog, berbahasa santun, ramah menjadi pakaian putra putri minang dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam berbahasa secara pribadi, maupun dengan orang-orang di sekelilingnya. Sehingga terciptanya tantanan kehidupan sosial yang saling menghargai antara satu sama yang lainnya.
Kato Nan Ampek, memiliki empat cara dalam berbahasa, Kato Mandaki (mendaki), biasanya bahasa ini dipergunakan untuk orang yang lebih besar, sedangkan Kato Mandata (mendatar) untuk teman sebaya, Kato Manurun (menurun) untuk orang yang lebih kecil, sedangkan Kato Malereang digunakan untuk menantu, pemimpin dan tokoh tokoh adat di Ranah Minang ini.
Apakah pemimpin dan Pemerintah Daerah kita masih menggunakan Kato Nan Ampek ini sebagai lambang kebesaran adat cara bahasa saat ini. Barangkali jawabannya ada pada diri kita masing-masing dalam kondisi daerah atau Kabupaten Solok yang kian mencemaskan dan memiriskan untuk masa masa yang akan datang.
Semoga tulisan ini kembali membangkitkan semangat para tokoh-tokoh Adat di Kabupaten Solok berani mengungkapkan kebenaran, mengungkap fakta sehingga terciptanya daerah yang Baldatun Thayibatun Warrabbun Gafur itu terwujud di daerah yang telah menapak usia 111 tahun ini.
Dalam filsafat Minang itu sebuah kalimat yang sudah saatnya kita perlu merenung, membuka mata hati bersama para tokoh dan rakyat agar menyuarakan sebuah kebenaran ini. Para Ninik Mamak, Angku Datuak dalam kesepakatan ka bukik kito samo mandaki, ka lurah samo manurun, saraso jo pareso, sahino dan samalu, sadanciang bak basi, saciok bak ayam.
Kalimat di atas merupakan cerminan kita untuk bersama, pemangku adat, alim ulama dan cadiak pandai sebagai sandaran bagi masyarakat dan anak kemenakan di tanah kelahiran yang amat kita cintai. Terutama sekali dalam menegakkan amar makruf nahi munkar di tanah yang subur ini.
Sebagai penulis sangat menyayangkan peran pemerintah tak lagi menjadi pelayan, pengayom bagi seluruh masyarakatnya. Terindikasi kebijakan yang dilahirkan memporak-porandakan nilai nilai kearifan lokal, mengotak atik organisasi niniak mamak yang selama ini damai dalam satu kesatuan yang kokoh sebagai mitra pemerintah daerah dalam pembangunan di seluruh aspek dan sendi kehidupan di tengah masyarakat.
KAN DALAM INTIMIDASI DAN KENDALI PEMERINTAH
Dari amatan penulis dan hasil dialog dari angku datuak yang selama menjadi bagian dalam organisasi niniak mamak itu sendiri, banyak yang sedih, galau bahkan tak segan segan memaki keberadaan pemerintah saat ini. Demi kepentingan politiknya anak kemenakan yang menjadi bagian pejabat penting di daerah ikut memberikan peran kehancuran ini.
Sejatinya adanya pemerintah karena ada rakyatnya, mereka hadir untuk memberikan yang terbaik untuk daerahnya. Suasana gaduh menjadi tontonan dengan adegan-adegan dramatis merusak tantanan kehidupan di tengah masyarakat yang dulunya tenang, damai dalam canda dan tawa.
Kini Kabupaten Solok berubah menjadi daerah yang tak nyaman lagi ditempati, tekanan, intimidasi, diskriminasi pemerintah kian nyata dipertontonkan ke tengah masyarakatnya. Termasuk organisasi Adat terlalu gampang di otak-atik oleh pemerintah daerah saat ini. Kondisi ini telah menjadi rahasia umum dan menjadi perbincangan hangat di tengah kehidupan masyarakat.
Indikator utama dari kegagalan sebuah pemerintah daerah adalah, ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan situasi yang aman, nyaman di wilayah yang dipimpinnya, baik hubungan dengan lembaga, organisasi, bahkan kondisi di tubuh pemerintah itu sendiri saat kini kian mencekam. Kondisi ini bisa dinilai oleh semua masyarakat Kabupaten Solok.
Dari amatan dan pantauan penulis pembubaran sebuah lembaga adat yang telah diatur dalam regulasi yang jelas selama ini, negara pun mengakui keberadaannya dan amat menghagai nilai- nilai budaya daerah dan kearifan lokal yang dimiliki selama ini.
Dari sebuah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) yang sudah terstruktur dari paguyuban seluruh tokoh adat dari nagari, kecamatan hingga kabupaten dirubah dan dilegalkan statusnya dalam bentuk hanya sebuah forum. Ini cukup luar biasa Forum itu hadir tak lebih dari sebagai tempat komunikasi. Parahnya tujuannya disinyalir sebagai alat politik pihak tertentu. Peradaban telah hancur oleh para politisi dan kelompoknya.
Secara derajat jelas-jelas menurunkan nilai-nilai kebesaran yang telah terkandung di lembaga selama ini, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga lembaga tak lagi menjadi pedoman pemerintah dalam perannya membina organisasi kemasyarakatan. Tujuannya melestarikan adat dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang dari tempo doeloe.
Setelah LKAAM berhasil dilenyapkan keberadaannya oleh pemerintah daerah dengan membentuk mengganti dengan sebuah Forum Ketua Kan Kabupaten Solok (FK3S) 15 Oktober 2022, para tokoh adat terkesan membiarkan, membungkam tak bergeming dalam kepasrahan, terserah pemerintah mau berbuat apa. Ini pertanda masyarakat telah jenuh dengan kondisi yang terjadi. Kala itu pemerintah hadir, bahkan membiayai meloloskan misi "terselubungnya".
Belum lagi dilakukan pembinaan terhadap organisasinya yang baru saja dibentuk, pemerintah daerah kembali menggunakan kekuasan diktatornya melalui salah satu dinas terkesan memaksakan untuk menganti kembali FK3S tersebut.
Tepatnya 9 September 2024 belum lagi melaksanakan tugas FK3S dan merampungkan legalitas, pembinaan keberadaan organisasi, pemerintah daerah dihadiri Bupati Solok mengganti kembali dengan Forum Komunikasi KAN Kabupaten Solok (ForKAN). Dimana letak peran pemerintah itu hadir sebagai pembina masyarakatnya. Manajemen konflik seakan ditanam di tubuh pemerintah daerah.
Tokoh adat kian terkotak-kotak, ambisi politik elit bersama pemerintah telah menghancurkan kerukunan dan kedamaian selama ini tercipta. Selain pemerintah menjadi dalang semua ini, pada saatnya rakyat akan meminta pertanggungjawabannya.
Bom waktu untuk kehancuran daerah seakan telah dipasang di setiap lorong nagari oleh pemerintah daerah, pada saatnya satu per satu bom itu akan meledak, jangan harap pemerintah daerah akan menghasilkan padi, bila bibit semak belukar yang ditanam.
Stagnasi kultural akan sulit diterabas, bila gaya pemimpin dan politikus menghalalkan segala cara untuk meloloskan niatnya, mari kita masyarakat makin cerdas dalam menilai, kita semua merindukan kedamaian dan bertekad mengembalikan kejayaan Kabupaten Solok yang pernah ada. Sebab secara jujur kita tak lagi bangga menjadi orang Kabupaten Solok, bahkan terkadang menjadi cemooh saat berkelakar dengan para sahabat dari luar daerah kita.
Demikian tulisan ini, semoga dapat menjadi referensi, evaluasin dan introspeksi diri serta menambah energi positif kita demi perbaikan daerah tercinta ini ke arah yang lebih baik. Sebab dari tahun 2000-an mulai dari era Bupati Solok dipimpin Gamawan Gauzi, penulis juga aktif dalam mempromosikan dan berkontribusi kejayaan daerah ini. Jujur disampaikan kondisi Kabupaten Solok paling hancur dalam empat tahun terakhir ini, bila dibandingkan tiga orang Bupati Solok sebelumnya. Salam Santun Untuk Semua.
Komentar