Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com - Dugaan ketidaktertiban administrasi dan lemahnya pengawasan kembali menyelimuti pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura). Tim media menemukan bahwa sebanyak 301 kontrak senilai Rp75,9 miliar tidak tercatat dalam sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Labura pada Tahun Anggaran 2024. (14/5/2024).
Berdasarkan data awal dari Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP), Pemkab Labura mengumumkan 3.563 paket kegiatan dengan total pagu anggaran sebesar Rp421,2 miliar. Namun, data LPSE menunjukkan adanya 3.564 paket dengan nilai pagu sedikit lebih tinggi, yakni Rp421,4 miliar. Terdapat selisih satu paket dan tambahan pagu sekitar Rp 200 juta tanpa penjelasan resmi.
Lebih jauh, dari total 3.564 paket tersebut, hanya 1.742 paket (sekitar 49 persen) yang berhasil dikontrakkan dengan nilai kontrak Rp230,5 miliar (sekitar 55 persen dari total pagu). Ironisnya, dari jumlah itu, hanya 1.441 paket yang tercatat pada tahap serah terima di LPSE, dengan total nilai Rp154,6 miliar. Artinya, terdapat 301 kontrak senilai Rp75,9 miliar yang tidak tercatat sama sekali pada tahap akhir pengadaan.
Ketika dikonfirmasi, Plt. Kepala Bagian PBJ Pemkab Labura mengaku terkejut dan menyebut hal itu kemungkinan akibat belum selesainya proses pencatatan oleh masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD). “Terkadang pak, di aplikasi itu mereka tidak menyelesaikan paketnya. Disaat penyelesaian itulah di-upload serah terimanya. Jadi ini nanti penyelesaian paketnya di akhir tahun,” ujarnya beberapa waktu yang lalu.
Namun, jika merujuk pada praktik tahun-tahun sebelumnya, kondisi serupa juga terjadi pada tahun 2023. Artinya, alasan keterlambatan pencatatan bukanlah hal baru. Ketika ditegaskan, Plt. Kabag PBJ menjawab, “Oh, ini, uda siap semuanya itu. Tapi gak semua OPD mencatatkan, adanya datanya samaku.”
Ia juga meminta agar media melihat data berdasarkan masing-masing OPD. “Maunya per OPD, kadang itu ada yang menyelesaikan ada yang tidak. Kasian juga orang itu, kan sudah kerja, tapi malah dimasalahkan,” katanya, menunjukkan keprihatinan atas dampak umum terhadap OPD yang bekerja sesuai prosedur.
Namun demikian, Aktivis hukum sekaligus lawyer dari Rumah Hukum Surya Dayan SH & fatner, menegaskan, bahwa hal ini tidak bisa dianggap kelalaian biasa. “Jika suatu kegiatan sudah dikontrakkan tapi realisasi Serah terimanya tidak tercatat dalam sistem LPSE, maka publik tidak bisa mengawasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan membuka peluang terjadinya pengadaan fiktif,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa tanggung jawab pengelolaan pengadaan melekat pada institusi, bukan semata individu. “Kalau pun pejabatnya berganti, tanggung jawab kelembagaan tidak otomatis gugur. Harus ada audit forensik terhadap seluruh kontrak yang tidak tercatat,” tegasnya.
Surya Dayan juga mengingatkan bahwa hal ini berpotensi melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, khususnya Pasal 6, yang menyebutkan bahwa pengadaan wajib memenuhi prinsip: efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
“Konsekuensinya bukan hanya administratif, tapi juga hukum. Setiap pejabat yang lalai dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Undang-Undang Tipikor. Apalagi jika dana publik yang besar sudah digunakan tanpa dapat ditelusuri melalui sistem,” pungkas Dayan SH.
(Ricki Chan)
Komentar