Pemred SKN Bidik Kasus Akan Tempuh Jalur Hukum, Bendahara Dinas PPA Diduga Gelapkan Dana Koran dan Palsukan Kwitansi

Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com —Pimpinan Redaksi Surat Kabar Nasional (SKN) Bidik Kasus, Ariansyah, menyampaikan kekecewaannya terhadap Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Kabupaten Labuhanbatu Utara. Ia menduga redaksi medianya telah dimanfaatkan oleh oknum bendahara dinas untuk menggelapkan dana langganan koran yang seharusnya dibayarkan kepada wartawan SKN di daerah tersebut.

Dalam keterangannya kepada wartawan pada Rabu (3/6/2025), Ariansyah mengungkapkan bahwa dirinya menerima laporan dari wartawan SKN di Labura bahwa pembayaran langganan koran dari Juli 2024 hingga April 2025 belum pernah diterima.

"Saya mendapat laporan dari wartawan saya di Labura bahwa sejak Juli 2024 sampai April 2025 belum ada pembayaran koran. Saya langsung perintahkan wartawan untuk berkoordinasi dengan kepala dinas," ujarnya.

Masih menurut Ariansyah, pada Mei 2025, wartawannya berhasil menemui Kepala Dinas PPA dalam kegiatan peringatan May Day yang diselenggarakan di Aula Ahmad Dewi Syukur. Namun, tanggapan Kepala Dinas dinilai tidak serius dan cenderung melempar tanggung jawab sepenuhnya kepada bendahara.

"Wartawan saya sudah bertemu Kadis. Tapi Kadis menyatakan bahwa uang koran tahun 2024 sudah dibayarkan. Anehnya, beliau mengatakan bahwa persoalan ini adalah urusan antara wartawan dan saudari 'F' (bendahara), bukan tanggung jawab dinas," lanjutnya.

Ariansyah menduga kuat telah terjadi manipulasi dokumen berupa pemalsuan kwitansi dan stempel atas nama media Bidik Kasus oleh oknum bendahara demi mempertanggungjawabkan pembayaran fiktif.

"Saya curiga telah terjadi pemalsuan kwitansi dan stempel yang dilakukan oleh oknum bendahara. Kalau benar uang koran sudah dibayarkan, tapi tidak sampai ke kami, itu jelas indikasi adanya penyimpangan," tegasnya.

Sebagai langkah awal, ia akan menginstruksikan tim redaksi untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap dokumen-dokumen yang digunakan oleh Dinas PPA. Di samping itu, pihaknya juga akan mengajukan permohonan keterbukaan informasi publik kepada PPID Kabupaten Labura serta mendesak Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Inspektorat Daerah agar segera melakukan audit terhadap seluruh belanja media di dinas tersebut.

"Jika APIP dan Inspektorat tidak merespons, kami akan menempuh jalur hukum dengan membuat laporan pengaduan resmi (dumas) ke aparat penegak hukum. Kami juga akan menyurati Ombudsman RI, Kejaksaan Negeri Labuhanbatu, Polres Labuhanbatu, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena ini menyangkut anggaran negara dan pelayanan publik," tegasnya.

Ariansyah menekankan bahwa redaksi SKN Bidik Kasus tidak akan tinggal diam dan akan menempuh jalur hukum jika terbukti terjadi penggelapan dana dan pemalsuan dokumen. Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya merugikan institusi media, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hukum pidana dan aturan pengelolaan keuangan negara.

Tindakan ini dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, antara lain:

1.Penggelapan dalam jabatan, Pasal 374 KUHP

"Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang karena ada hubungan kerja atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."

2. Pemalsuan Dokumen, Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

3. Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000.”

Ariansyah berharap agar kasus seperti ini tidak dipandang sebelah mata dan meminta Kepala Daerah untuk bersikap tegas terhadap setiap oknum ASN yang menyalahgunakan kewenangannya.

"Jangan sampai uang negara habis bukan untuk pelayanan publik, tetapi untuk memenuhi kejahatan birokrasi. Ini tidak bisa ditoleransi," pungkasnya.

(Ricki Chaniago)

Artikel Terkait

Berita|Sumut|
View Comments

Komentar

Info Menarik Lainnya


 


 


 

 


VIDEO

Video|0

BIDIKKASUSNEWS.COM

Thanks To : PT MEDIA BIDIK KASUS GROUP | |

Like Fans Page Kami