Medan, Bidikkasusnews.com – Yazid Hulaini Habbani Nasution (22), warga Jalan Letda Sujono Gang Pisang I Medan Tembung, menorehkan kisah inspiratif sebagai jemaah haji termuda Kloter 09 KNO Sumatera Utara. Terdaftar haji sejak usia 9 tahun atas pendaftaran orang tuanya, ia berangkat bersama keluarga—kedua orang tua dan dua kakak—untuk menunaikan ibadah haji.
"Alhamdulillah, kami sekeluarga berlima tahun ini memenuhi panggilan Allah sebagai dhuyurfurrahman (tamu Allah) di usia saya 22 tahun," ungkap Yazid melalui pesan WhatsApp kepada Humas PPIH Debarkasi Medan, Jumat (13/6/2025). Uniknya, keberangkatannya ke Mekkah bertepatan dengan wisuda S1-nya di Fakultas Sains dan Teknologi UIN SU. Meskipun tak bisa hadir langsung, ia mengikuti prosesi wisuda secara virtual dari Tanah Suci, berkat bantuan rektorat UIN SU dan petugas kloter 9. Yazid menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas dukungan tersebut.
Keberangkatan haji di usia muda menjadi berkah tersendiri bagi Yazid. Stamina dan energi yang prima memungkinkannya menjalankan ibadah dengan optimal. Ia melihat ibadah haji di usia muda sebagai investasi spiritual yang kuat untuk masa depan, memperkokoh keimanan, dan memberikan arah hidup yang lebih jelas.
Lebih dari sekadar menjalankan ibadah pribadi, Yazid aktif membantu jemaah haji lansia dan penyandang disabilitas, terutama mereka yang tanpa pendamping. Ia dengan ikhlas mendorong kursi roda, membantu menyiapkan konsumsi, dan memberikan bantuan lainnya, baik di Arafah, Muzdalifah, Mina (Armuzna), maupun selama tawaf dan sa’i. Ia menuturkan bahwa orang tuanya telah menanamkan prinsip untuk selalu bermanfaat bagi sesama. "Prinsip saya, hidup harus mendatangkan manfaat di manapun kita berada, di saat kita mampu, sehat, dan kuat untuk berbagi," tambahnya.
Yazid merasakan pengalaman spiritual yang mendalam selama di Tanah Suci, diiringi kejadian-kejadian unik. Setelah ibadah puncak di Armuzna, ia merasa lelah, namun saat berdoa di depan Ka’bah memohon kemudahan untuk tawaf, ia merasakan tubuhnya kembali bugar dan ringan, sehingga tawaf dapat diselesaikan dengan lancar meskipun di tengah kerumunan jemaah. Ketenangan hati juga ia rasakan di tengah tantangan pelayanan yang kurang maksimal, seperti kondisi tenda dan toilet yang belum memuaskan.
Yang paling menyentuh, Yazid kerap menangis—sesuatu yang jarang ia lakukan—saat membaca Al-Quran atau berdoa di depan Ka’bah. Air mata mengalir begitu saja, diiringi penyesalan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Kisah Yazid menjadi inspirasi bagi kita semua, bahwa ibadah haji tidak hanya tentang ritual, tetapi juga tentang berbagi dan memberikan manfaat bagi sesama.(T.Hendri.H.Sihombing)
Sumber - Humas MCH
Komentar