Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) kembali terseret dalam pusaran skandal anggaran. Setelah sebelumnya terbongkar dugaan perjalanan dinas fiktif senilai Rp517 juta, kini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap penyimpangan baru: pengadaan alat tulis kantor (ATK) yang diduga fiktif dan pembelian tas yang diduga dimark-up, dengan total kelebihan pembayaran mencapai Rp109.876.128,83. Secara keseluruhan, dua skandal ini diduga telah merugikan negara hingga Rp627 juta.
Temuan tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun 2024, yang dirilis melalui dokumen resmi Nomor 41.B/LHP/XVIII.MDN/05/2025 tertanggal 25 Mei 2025. Dalam laporan itu, dijelaskan bahwa ada dua pelanggaran utama: pengadaan ATK dan bahan cetak yang tidak pernah dilaksanakan, serta pembelian tas dinas dengan harga di atas Standar Satuan Harga (SSH) Pemerintah Daerah.
Meskipun dana tersebut telah dikembalikan ke kas daerah, BPK menegaskan bahwa praktik semacam itu tetap melanggar prinsip pengelolaan keuangan daerah yang efisien, transparan, dan akuntabel. Laporan itu juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal, mulai dari Kepala Dinas hingga bendahara, serta pelanggaran terhadap regulasi seperti Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
Kasus ini semakin menambah daftar panjang penyimpangan di Dinkes Labura, setelah sebelumnya lembaga ini tercatat dalam LHP BPK sebagai pelaksana perjalanan dinas yang diduga fiktif. Sejumlah kegiatan tercatat di atas kertas, namun tidak ditemukan bukti pelaksanaannya. Bahkan terdapat pemindahan uang negara ke rekening pribadi bendaha mencapai setengah miliar lebih.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Kesehatan belum memberikan klarifikasi resmi. Permintaan konfirmasi dari media ditolak dengan dalih harus melalui prosedur sesuai dengan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.
Media juga telah berupaya mengkonfirmasi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), KKS, yang diduga menjadi salah satu figur kunci dalam dugaan perjalanan dinas fiktif, pengadaan ATK fiktif, dan pembelian tas yang diduga dimark-up. Namun KKS juga memilih bungkam, sejalan dengan sikap atasannya. Publik menilai, ini bukan sekadar pembiaran, melainkan bentuk persekongkolan antara Pengguna Anggaran (PA) dan PPK untuk menutup rapat-rapat penyimpangan.
Dalam situasi ini, muncul harapan baru dari publik. Aktivis, pemuda, dan akademisi mulai bersuara keras. Gunawan Situmorang, dari Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi Sumut (AMPDS), mengecam keras skandal berulang tersebut. Menurutnya, pengembalian uang bukan solusi untuk kejahatan yang bersifat sistemik.
“Korupsi itu bukan soal dikembalikan atau tidak. Ini soal moral dan kejahatan terhadap kepercayaan publik. Kalau ini dibiarkan tanpa sanksi hukum, maka yang fiktif bukan cuma ATK dan perjalanan, tapi juga integritas pemerintah daerah,” tegas Gunawan.
Ia menambahkan, dua indikator penting telah terpenuhi untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, yaitu adanya kerugian negara dan perbuatan melawan hukum dengan dugaan memalsukan dokumen demi lancarkan aksinya.
“Uang yang dikembalikan tidak menghapus unsur pidananya,” jelasnya, sambil menyinggung Pasal 3 dan Pasal 9 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999.
Gunawan juga mengingatkan bahwa korupsi di sektor kesehatan adalah kejahatan yang memperparah penderitaan publik.
“Ini menyangkut hak dasar masyarakat. Kalau ini dibiarkan, maka negara sedang mengirim pesan bahwa korupsi itu sah asal bisa dikembalikan. Ini preseden yang sangat buruk,” tambahnya.
Senada, Muhammad Iqbal dari masyarakat asal Kualuh Selatan menyebut skandal ini sebagai bentuk penghinaan terhadap masyarakat.
“Di Puskesmas masih banyak kekurangan obat-obatan, tapi di kantor dinas, mereka bisa anggarkan Perjalanan Dinas, belanja ATK, pembelian Tas, bahkan kegiatan yang diduga fiktif dan mark-up. Ini bukan kelalaian, ini pengkhianatan,” ujarnya.
Iqbal juga menyesalkan tidak adanya tindakan tegas yang diberikan kepada pihak-pihak yang terlibat.
“Kalau Bupatinya diam, Kepala Dinasnya juga diam, siapa lagi yang bicara? Ya rakyat. Dan kami akan bicara lebih keras, karena kami yang dirugikan.”
Gunawan Situmorang menyatakan bahwa pihaknya bersama mahasiswa lintas kampus di Sumatera Utara akan menggelar aksi damai. Mereka akan menuntut agar Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas dugaan korupsi yang menjamur di Dinkes Labura.
“Kami akan datang meminta sikap tegas. Kalau aparat tidak mau buka mata, maka rakyat yang akan buka suara,” ujarnya.
Skandal ATK dan perjalanan dinas yang diduga fiktif dan mark-up bukan hanya sekadar persoalan angka. Ini adalah cermin rapuhnya moral pengelolaan pemerintahan daerah. Ketika uang publik bisa dihabiskan untuk kegiatan yang tidak pernah ada, dan cukup dikembalikan tanpa sanksi, maka sesungguhnya yang dijalankan bukan lagi sistem pemerintahan, melainkan sistem impunitas.
Masyarakat Labuhanbatu Utara tidak butuh prosedur normatif atau alasan prosedural. Mereka butuh pemimpin yang jujur, tegas, dan transparan. Jika tidak, maka yang fiktif bukan cuma ATK dan perjalanan dinas, tetapi juga masa depan pelayanan publik.
(Ricki Chaniago)
Komentar