Labuhanbatu Utara, bidikkasusnews.com - Dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif di Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Utara (Dinkes Labura) yang merugikan negara sebesar Rp517 juta memasuki babak baru. Kasus ini tak hanya menyoroti manipulasi anggaran, tapi juga dugaan pelanggaran hukum oleh Inspektorat Labura yang terkesan abai dan menolak bertanggung jawab sebagai pengawas internal. Sabtu, (9/8/2025).
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap bahwa 10 dari 14 item perjalanan dinas yang menggunakan mekanisme Ganti Uang (GU) terindikasi fiktif. Modusnya sistematis, melibatkan pengajuan dana melalui akun SIPD pribadi pejabat, pencairan ke rekening bendahara, dan pemalsuan Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Kejanggalan terbesar adalah praktik ini luput dari pengawasan Inspektorat Labura, memicu pertanyaan besar tentang efektivitas kontrol internal pemerintah daerah.
Saat dikonfirmasi, Kasubbag Evaluasi dan Pelaporan Inspektorat Labura, Hafifjuddin, secara defensif menyatakan pihaknya hanya akan bertindak sesuai rekomendasi BPK. Jum'at, (8/8/2025).
"Kami hanya menjalankan sesuai rekomendasi BPK. Apa yang direkomendasikan BPK, itulah yang kami tindak lanjuti," ujarnya.
Sikap ini semakin panas ketika Hafif menantang media untuk menuntut BPK karena tak mencantumkan unsur pidana dalam laporannya. "Tidak ada dinyatakan BPK unsur pidananya pula, tuntut saja kewenangan dia, kenapa kamu buat tidak ada unsur pidananya begitu."
Pernyataan ini menunjukkan adanya kesalahpahaman fatal atau upaya pengalihan isu mengenai pembagian tugas dan kewenangan antara lembaga audit eksternal dan internal.
Pernyataan tersebut dibantah keras oleh Gunawan Situmorang dari Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) Sumatera Utara. Menurutnya, Inspektorat memiliki kewajiban proaktif untuk melaporkan temuan korupsi.
"Inspektorat memiliki kewajiban untuk melakukan koordinasi dan kerja sama pengawasan dengan aparat penegak hukum. Dalam kasus dugaan korupsi, Inspektorat tidak boleh menolak untuk menindaklanjuti temuan atau melempar tanggung jawab," jelas Gunawan.
Ia menegaskan, Inspektorat tidak bisa berlindung di balik Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. "Inspektorat memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengambil langkah lebih lanjut, termasuk melaporkan indikasi pidana, bahkan jika BPK tidak secara eksplisit menyebutnya sebagai tindak pidana," tegasnya.
Sikap Inspektorat Labura ini dinilai tidak hanya keliru, tapi juga berpotensi melanggar hukum. Inspektorat diduga mengabaikan sejumlah regulasi. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 dan Nomor 15 Tahun 2006 menegaskan BPK sebatas auditor keuangan, bukan penyidik. Mereka juga diduga melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017 yang mengamanatkan Inspektorat sebagai garda terdepan pengawasan internal.
Terlebih, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tak menghapus potensi pidana, sehingga fokus Inspektorat hanya pada pengembalian uang tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan indikasi pidana. Kasus ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah daerah dalam memberantas korupsi. Sikap Inspektorat yang menolak inisiatif mandiri dan melempar tanggung jawab memperkuat dugaan adanya pembiaran, kelalaian, atau bahkan kolusi.
Gunawan Situmorang mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), seperti Kejaksaan dan Kepolisian, untuk segera bertindak. "Temuan BPK harus dijadikan pijakan kuat untuk melakukan penyelidikan mendalam. Aparat penegak hukum tidak hanya harus mengusut dugaan korupsi di Dinkes, tetapi juga menyelidiki apakah ada unsur kesengajaan dari pihak Inspektorat untuk melindungi pihak-pihak tertentu," pungkasnya.
Tanpa tindakan tegas, kasus ini berisiko menjadi preseden buruk yang mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pengawasan internal.
(Ricki Chaniago)
Komentar