Padang Panjang, bidikkasusnews.com -Temuan berulang laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap anggaran perjalanan dinas sekretariat DPRD kota Padang Panjang dari tahun 2021 hingga tahun 2004 menuai sorotan.
Sorotan pertama datang dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke.
Menurut Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, kalau benar kejadian itu berulangkali, artinya telah menjadi kebudayaan yang buruk di lingkungan Sekretariat DPRD tersebut.
Untuk itu, lanjut Wilson Lalengke mengingatkan, agar para pejabat daerah dan pelaksana proyek pengadaan lebih berhati-hati dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, terutama dalam proses E-Purchasing yang seringkali rawan terjadi penyimpangan administratif dan mark-up harga.
“Kalau tidak hati-hati, pengembalian uang mungkin bisa menyelamatkan kas daerah, tapi bukan menyelamatkan pelakunya dari jerat hukum,” tegas lulusan pasca sarjana dari tiga universitas ternama di Eropa, yaitu Universitas Birmingham di Inggris, Universitas Utrecht di Belanda, dan Universitas Linköping di Swedia.
Sorotan kedua datang dari ketua persatuan jurnalis keterbukaan informasi publik (JKIP) Padang Panjang Rifnaldi.
Menurut Rifnaldi, berulangnya temuan LHP BPK RI, terhadap anggaran perjalanan dinas di sekretariat DPRD kota Padang Panjang dari tahun 2021 hingga tahun 2004 yang angkanya mencapai miliaran rupiah kuat dugaan ada unsur kesengajaan.
"Meskipun kemudian pemerintah daerah atau pihak terkait mengembalikan dana kelebihan pembayaran ke kas negara, tindakan itu tidak serta-merta menghapus unsur pidana, karena temuan BPK RI itu terus berulang setiap tahunnya. Apa lagi jika terbukti ada perbuatan korupsi dibaliknya," ujar Rifnaldi kepada awak media, Minggu (19/10/2025).
Ia menjelaskan, pengembalian kerugian negara memang dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan dalam penjatuhan hukuman, namun tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana.
Rifnaldi kemudian merujuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah peraturan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi karena dinilai sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Undang-undang ini memuat definisi korupsi, jenis-jenis tindak pidana korupsi, serta sanksi hukum bagi pelakunya.
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3," tutur Rifnaldi mengutip pasal dalam UU/31/1999 dimaksud.
Dijelaskan Rifnaldi, pasal ini menegaskan bahwa niat dan perbuatan melawan hukum tetap menjadi dasar pertanggungjawaban pidana, sekalipun uang yang telah diselewengkan dikembalikan.
“Artinya, ketika ada potensi penyimpangan yang telah terjadi berkali-kali dalam perjalanan dinas ini, seperti mark-up biaya penginapan, penggelembungan ongkos transportasi, atau kegiatan fiktif, maka penyelidikan tetap harus berjalan. Pengembalian dana hanyalah bentuk tanggung jawab administratif, bukan pembersihan dari pidana,” ujar Rifnaldi menegaskan.
Ia juga menilai bahwa temuan LHP BPK seharusnya menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri apakah ada unsur kesengajaan dalam kelebihan pembayaran tersebut. Jika terbukti ada niat memperkaya diri sendiri atau pihak lain, maka unsur korupsi telah terpenuhi.
“Prinsip dasarnya jelas: setiap rupiah uang negara yang dikelola harus bisa dipertanggungjawabkan. Pengembalian uang tidak serta-merta menghapus jejak perbuatan hukum,” tutupnya.
Sorotan ketiga datang dari salah satu tokoh adat Minangkabau, Basrizal, S. Sos, Dt. Pangulu Basa yang menyoroti kekurangan keterbukaan Inspektorat kota Padang Panjang dalam memberikan data LHP BPK RI.
Inspektorat sebut Basrizal sebagai bagian dari Pemerintah Daerah selayaknya menjalankan prinsip pemerintahan yang baik, termasuk prinsip transparansi.
"Ini adalah hak publik untuk mendapatkan informasi publik, termasuk yang berkaitan dengan realisasi pengembalian uang yang jadi temuan BPK," ujar Basrizal.
"Seyogyanya Pemko Padang Panjang wajib membuka informasi siapa saja yang sudah mengembalikan. Bila tidak maka akan jadi bola liar dan bisa mengganggu citra pemerintahan kota yang sedang dibangun oleh pasangan Hendri-Allex," pungkas Basrizal.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Inspektorat kota Padang Panjang Davidson didampingi auditor muda inspektorat, Yuli Yanti, dan Plt. Irban Inspektorat Firsom Syukriadi, dalam keterangannya saat menerima sejumlah awak media, Senin (6/10/2025), menyebutkan, bahwa terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas anggaran perjalanan dinas pada Sekretariat DPRD Kota Padang Panjang tahun 2022-2024, sejatinya Inspektorat Kota Padang Panjang lah yang pertama kali menemukan.
"Hasil temuan tersebut kemudian disampaikan ke Sekretariat DPRD Kota Padang Panjang. Namun Sekretariat DPRD Kota Padang Panjang terkesan tidak serius menanggapi, sehingga akhirnya menjadi temuan BPK RI," ujar Davidson.
"LHP audit BPK tahun 2021, awalnya Sekretariat DPRD tidak merespon, sehingga dilanjutkan ke Kejaksaan, dan tahun 2022 dengan Tipikor Polres Padang Panjang," sambung Davidson.
Terkait temuan dimaksud, Davidson menjelaskan pada tahun 2022, ditemukan adanya kewajiban pengembalian anggaran oleh 44 orang dengan total sebesar Rp1.908.335.000 pengembalian itu dilakukan secara mencicil.
"Sebanyak 41 orang mengembalikan dengan satu kali pembayaran, 2 orang dua kali pembayaran dan 1 orang tiga kali pembayaran," rinci Davidson.
Namun pada tahun 2023, kembali ditemukan ketidaksesuaian terhadap pembayaran perjalanan dinas yang totol jumlahnya mencapai Rp3.660.200.700.
"Pengembalian dilakukan oleh 7 orang dengan satu kali pembayaran, 6 orang dengan dua kali pembayaran, 1 orang dengan 3 kali pembayaran, 4 orang dengan 4 kali pembayaran, 1 orang lima kali pembayaran dan 1 orang tujuh kali pembayaran," jelas Davidson.
Sementara, hasil audit BPK RI tahun 2024 temuan anggaran perjalanan dinas di sekretariat DPRD kota Padang Panjang tercatat Rp319.904.460. Dan pengembalian dilakukan oleh 40 orang dengan satu kali pembayaran, 4 orang dengan dua kali pembayaran, 1 orang tiga kali pembayaran, 2 orang empat kali pembayaran dan 1 orang enam kali pembayaran.
Sayangnya, ketika awak media meminta penjelasan detil terkait jumlah angka pengembalian dan nama-nama yang mengembalikan, Davidson menjawab jika inspektorat tidak berwenang menyampaikannya.
"Terkait jumlah angka pengembalian dan nama-nama yang mengembalikan. Inspektorat tidak berwenang untuk itu, karena itu terkait dengan LHP BPK. Inspektorat hanya menfasilitasi Tindak Lanjut (TL) hasil rekomendasi BPK sesuai dgn ketentuan dari BPK," jawabnya.
(Yuli Saldeng)
Komentar